Tampaknya penyelenggara pemilu ini lebih berhati-hati agar produk hukumnya tidak mengalami bongkar pasang di tengah tahapan pemilu.
Semarang (ANTARA) - Penyelenggara pemilu dalam menyusun dan menetapkan aturan main pesta demokrasi pada tahun 2014 tetap berpayung hukum pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Kendati laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) merupakan instrumen yang bisa mengecek dan memantau akuntabilitas dana kampanye peserta pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2022—2027 tidak memasukkan dalam Rancangan Peraturan KPU (RPKPU) tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum.

Tampaknya penyelenggara pemilu ini lebih berhati-hati agar produk hukumnya tidak mengalami bongkar pasang di tengah tahapan pemilu. Oleh karena itu, KPU tetap menjadikan UU Pemilu sebagai dasar penyusunan sejumlah peraturan KPU (PKPU) dalam setiap tahapan Pemilu 2024.

Apalagi, ketidakharmonisan antara PKPU dan UU Pemilu sampai merugikan warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dan dipilih, baik mereka berstatus bakal calon anggota legislatif (bacaleg) maupun caleg di semua tingkatan.

Sejumlah PKPU yang pernah mengalami perubahan, antara lain, PKPU No. 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 46 P/HUM/2018 menyatakan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU No. 20/2018 sepanjang frasa "mantan terpidana korupsi" bertentangan dengan UU No. 7/2017 juncto UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang

Setelah putusan MA, KPU menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 31 Tahun 2018 tentang Perubahan atas PKPU No. 20/2018.

Begitu pula PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota juga menuai reaksi dari sejumlah pihak.

Karena KPU tidak merevisi PKPU No. 10/2023, lima pemohon (Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia, Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib) mengajukan uji materi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 ke MA.

Pemohon mengujimaterikan Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023 terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 245 UU No. 7/2017, dan UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Wanita.

PKPU No. 10/2023 yang diundangkan pada tanggal 18 April 2023 ini tercatat dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 348.

Pemohon dalam mengajukan permohonan uji materi PKPU itu pada tanggal 5 Juni 2023. Apakah permohonan uji materi ini diterima Mahkamah Agung atau tidak?

Pasalnya, batas waktu permohonan pengujian paling lambat 30 hari kerja sejak PKPU diundangkan, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 76 ayat (3) UU No. 7/2017.


Laporan dana kampanye

Aturan kepemiluan pada Pemilihan Umum 2024 juga mendapat perhatian publik. Begitu laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) tidak masuk dalam Rancangan PKPU Dana Kampanye Pemilihan Umum, Koalisi Masyarakat Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas meminta KPU RI agar tetap mengatur ketentuan LPSDK peserta Pemilu 2024. (Sumber: ANTARA, 6 Juni 2023)

Mereka meminta KPU menetapkan kewajiban bagi peserta Pemilu 2024 untuk menyusun dan melaporkan LPSDK pada periode masa kampanye dan sebelum pemungutan suara, sebagaimana telah diterapkan sejak Pemilu 2014 hingga Pemilu 2019.

Dalam PKPU Nomor 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum terakhir direvisi dengan PKPU Nomor 34 Tahun 2018, memang terdapat ketentuan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK).

LPSDK adalah pembukuan yang memuat seluruh penerimaan yang diterima peserta pemilu setelah laporan awal dana kampanye (LADK) disampaikan kepada KPU, KPU provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP kabupaten/kota.

Alasan penghapusan LPSDK telah disampaikan KPU RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Kementerian Dalam Negeri. (Sumber: ANTARA, Senin, 29 Mei 2023)

Alasannya, antara lain, LPSDK dihapus karena tidak diatur dalam UU No. 7/2017. Selain itu, karena masa kampanye Pemilu 2024 lebih singkat daripada masa kampanye di Pemilu 2019 yang berlangsung selama 6 bulan 3 minggu. Singkatnya masa kampanye ini menyulitkan menempatkan jadwal penyampaian LPSDK.

KPU juga memutuskan untuk menghapus ketentuan penyampaian LPSDK oleh peserta pemilu karena informasi mengenai penerimaan sumbangan dana kampanye itu telah dimuat dalam LADK dan laporan penerimaan pengeluaran dana kampanye (LPPDK).

Namun, menurut pegiat pemilu Titi Anggraini, S.H., M.H., laporan awal dana kampanye (LADK) ataupun laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) tidak bisa menjadi pertimbangan bagi pemilih dalam memilih peserta pemilu pada hari-H.

Hal itu mengingat durasi penyampaian LPPDK itu pada umumnya setelah hari pemungutan suara. Dengan demikian, tidak bisa memberikan informasi kepada pemilih sebagai pertimbangan ketika akan mencoblos pada hari Rabu, 14 Februari 2024.

Meskipun KPU mengatakan akan mengakomodasi penyampaian LPSDK melalui aplikasi Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam), koalisi masyarakat sipil itu berharap ketentuan yang mewajibkan peserta Pemilu 2024 untuk menyampaikan laporan tersebut tetap harus dimuat dalam PKPU Dana Kampanye Pemilihan Umum.

Mereka meminta KPU untuk membuka akses informasi publik atas laporan dana kampanye secara memadai, termasuk akses terhadap informasi dalam Sidakam dengan format yang mudah diakses publik.

Lepas dari tudingan minim komitmen untuk melakukan terobosan bagi penyelenggaraan pemilu yang antikorupsi, bersih, dan berintegritas, produk hukum KPU harus tetap dalam koridor Undang-Undang Pemilihan Umum.

Seyogianya wacana yang berkembang di tengah tahapan Pemilu 2024 menjadi perhatian pembentuk undang-undang, baik DPR maupun Pemerintah, ketika akan merevisi UU Pemilu.

 

Copyright © ANTARA 2023