penegakan hukum secara tegas harus diterapkan terhadap para perusak hutan mangrove.
Ternate (ANTARA) - Rehabilitasi hutan bakau di pesisir Pantai Gambesi, Kota Ternate, Maluku Utara, yang mengalami kerusakan parah, kini terus dilakukan dengan cara menanam ribuan bibit di hutan bakau seluas 20 hektare.

Merehabilitasi kerusakan hutan bakau atau mangrove dengan cara seperti itu juga terlihat di sembilan kabupaten kota lain di provinsi kepulauan ini. Harapannya, 10 tahun ke depan sudah dapat tertangani semuanya, terutama hutan bakau yang menjadi pelindung permukiman warga masyarakat.

Pemerintah daerah bersama instansi terkait serta berbagai elemen pencinta lingkungan dan masyarakat di Malut terus berkolaborasi menangani kerusakan hutan bakau di daerah ini sebagai wujud kepedulian menjaga kelestarian tanaman pantai multifungsi itu.

Penyebab utama kerusakan hutan bakau di provinsi berpenduduk 1,4 juta jiwa ini adalah eksploitasi berlebihan yang dilakukan masyarakat untuk berbagai keperluan, seperti bahan bangunan rumah, pembuatan arang, kayu bakar, hingga material penopang  pengerjaan bangunan bertingkat.

Pengalihfungsian hutan menjadi permukiman, fasilitas umum, dan tempat usaha juga memberi kontribusi terhadap kerusakan hutan di Malut, seperti terlihat di Pantai Mangga Dua Kota Ternate, yang nyaris tidak menyisakan mangrove karena berubah menjadi area permukiman.

Luas hutan bakau di provinsi yang terkenal dengan rempah ini tercatat 55.322 ha, sebagian besar berada di Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Barat, dan Kabupaten Halmahera Tengah. Akan tetapi, lebih dari 50 persen dari luas hutan itu mengalami kerusakan berat dan ringan.

Kerusakan hutan bakau di Malut telah mengakibatkan berkurangnya keragaman jenis tanaman ini di sejumlah kabupaten/kota, misalnya, di Kota Ternate yang semula memiliki lebih dari 30 jenis, kini tinggal tersisa 15 jenis mangrove.

Abrasi pantai yang mengancam permukiman masyarakat dan fasilitas umum di sejumlah wilayah pesisir dan pulau kecil di Malut, juga merupakan dampak dari kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir setempat karena salah satu fungsi tanaman ini mencegah abrasi.

Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba dan seluruh bupati/wali kota di provinsi ini telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mencegah laju kerusakan hutan bakau, di antaranya larangan penebangan pohon ini untuk kebutuhan apa pun.

Kebijakan larangan serupa juga diberlakukan terhadap pengalihfungsian hutan mangrove menjadi area permukiman dan tempat usaha. Selain itu, juga mewajibkan para pengusaha konstruksi tidak menggunakan kayu bakau dalam pengerjaan bangunan bertingkat atau konstruksi lainnya.

Berdasarkan Peta Mangrove Nasional dari Kementerian Lingkungan Hidup, total luas lahan bakau di Indonesia tahun 2021 tercatat 3,36 juta ha atau 20 persen dari luas bakau di dunia, yang terdiri atas 2,6 juta ha dalam kawasan dan 702 ribu ha di luar kawasan atau mengalami penambahan luas 52 ribu ha dibandingkan  tahun 2019 seluas 3,31 juta ha.


Multifungsi

Mangrove yang nama Latinnya Rhizophora ini memiliki multifungsi yang sangat penting, baik bagi kelestarian ekosistem pantai maupun kehidupan sosial ekonomi masyarakat, terutama yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Hutan bakau dapat mencegah abrasi pantai, menghalangi sedimentasi perairan laut akibat erosi dari daratan, hingga mengurangi dampak gelombang pasang terhadap permukiman masyarakat yang berada di bibir pantai saat terjadi cuaca buruk, air pasang,  hingga tsunami.

Hutan bakau juga menjadi habitat berbagai jenis biota laut, seperti udang, kepiting, kerang-kerangan, dan ikan. Bahkan untuk jenis ikan tertentu malah menjadikan kawasan mangrove sebagai tempat pemijahan. Selain itu, hutan bakau juga dimanfaatkan berbagai jenis burung, seperti bangau untuk bersarang dan bertelur.

Fungsi lain mencegah polusi, bahkan mangrove memiliki kemampuan lebih besar dalam menyerap karbondioksida dan mengubahnya menjadi oksigen sehingga berkontribusi dalam mengurangi kerusakan lapisan ozon akibat emisi gas.

Bagian dari tanaman bakau, terutama daun, kulit, dan akar menjadi bahan baku obat herbal. Masyarakat Malut sampai saat ini masih memanfaatkan tanaman pantai itu untuk pengobatan tradisional untuk mengobati berbagai jenis penyakit, seperti diare, kusta, flu, luka, bisul, mag, dan hipertensi.

Banyaknya fungsi hutan mangrove itu, menurut pemerhati lingkungan di Malut Djafar Mustafa, harus disosialisasikan secara masif kepada masyarakat agar mereka ikut berkontribusi melestarikan bakau, minimal mereka tidak melakukan aktivitas yang dapat merusak hutan itu.

Tokoh adat, agama, dan tokoh lain yang berpengaruh di masyarakat harus diberi peran besar dalam upaya menyosialisasikan fungsi mangrove karena masyarakat yang umumnya masih menganut paham feodal mematuhi apa yang disampaikan tokoh-tokoh seperti itu.

Di sisi lain, penegakan hukum secara tegas harus diterapkan terhadap para perusak hutan mangrove . Akan tetapi penerapannya harus tetap bijak dan tidak boleh tebang pilih karena terkadang jika pelakunya masyarakat biasa diproses cepat, sedangkan jika orang penting cenderung didiamkan.

Djafar Mustafa melihat perlunya mengupayakan konsep simbiosis mutualisme antara hutan mangrove dengan masyarakat. Di satu sisi, hutan mangrove terbebas dari perusakan dan di sisi lain masyarakat dapat menikmati manfaat dari keberadaan hutan bakau.

Pengembangan hutan bakau menjadi objek wisata dengan memberi kewenangan penuh kepada masyarakat setempat sebagai pengelola, merupakan contoh dari konsep simbiosis mutualisme, seperti yang diterapkan di berbagai daerah di Pulau Jawa dan Sumatera.

Kemudian, menjadikan hutan bakau sebagai tempat budi daya ikan atau kepiting juga merupakan penerapan konsep simbiosis mutualisme antara hutan bakau dengan masyarakat.

Dengan demikian, masyarakat akan selamanya menjaga hutan mangrove sebagai tempat mencari nafkah.


Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023