Saat ini ada dua wacana prinsip pengelolaan industri migas. Pertama berorientasi pada kenaikan lifting (produksi minyak siap jual). Kedua nasionalisme buta, semua harus diserahkan ke perusahaan minyak negara,"
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta memprioritaskan penguatan industri migas nasional ketimbang terpaku pada kenaikan lifting minyak sebagai sumber pendapatan negara, sehingga sektor migas tidak lagi tergantung pada modal asing.

"Saat ini ada dua wacana prinsip pengelolaan industri migas. Pertama berorientasi pada kenaikan lifting (produksi minyak siap jual). Kedua nasionalisme buta, semua harus diserahkan ke perusahaan minyak negara," kata Kepala Pokja Kontrak Komersil SKK Migas, Didi Setiarto dalam diskusi tentang Tata Kelola Migas di Jakarta, Rabu.

Didi Setiarto sepakat bahwa peran perusahaan migas nasional perlu diperbesar. Namun isu nasionalisme migas juga perlu diletakkan dalam kerangka fakta. Sebab selain kebutuhan modal yang tinggi, SKK Migas tidak ingin risiko bisnis migas yang tinggi sepenuhnya ditanggung perusahaan negara.

Untuk itu, peran asing untuk meminimalkan risiko tetap diperlukan. "Sepanjang 2009 hingga 2012 modal yang hilang untuk eksplorasi itu mencapai dua miliar dolar AS. Kita tidak mau menanggung risiko itu," tegasnya.

Didi juga mengingatkan bahwa dalam memajukan indutri migas, pemerintah perlu mempertimbangkan setoran ke APBN sekaligus juga menaikkan kinerja Pertamina.

Pemerintah sendiri melalui menteri BUMN Dahlan Iskan meminta Pertamina meningkatkan setoran ke negara mengingat Pertamina merupakan salah satu BUMN penyumbang terbesar di APBN.

Karena itu, pihaknya mengusulkan agar dalam revisi Undang-Undang (UU) Migas yang kini digarap di DPR, Pertamina diberikan keleluasaan dalam melakukan investasi baik di dalam maupun luar negeri.

"Bayangkan saat ini alokasi investasi di Pertamina hanya berkisar lima persen, sementara Petronas Malaysia bisa mencapai 70 persen. Sebagian dari keuntungan Pertamina harus banyak dialokasikan di investasi. Jika tidak sampai kapanpun BUMN ini tidak akan mampu melawan perusahaan minyak asing," jelasnya.

Sementara ekonom sekaligus Direktur Indonesia Center for Green Economy (ICGE) Darmawan Prasodjo menegaskan pengelolaan sektor migas nasional dinilai perlu diperbaiki untuk mewujudkan ketahanan energi nasional sekaligus mengembangkan industri migas domestik.

Perbaikan tersebut harus dimulai dengan penyempurnaan regulasi dan strategi yang komprehensif dan sistemik. "Tujuannya harus diubah dan juga harus ada yang mengambil kendali tanggung jawab strategis di bidang ini," tutur Darmawan.

Ia mengatakan saat ini tujuan utama pengelolaan migas nasional hanya fokus pada produksi (lifting), yang dikaitkan kepentingan untuk membiayai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Masalahnya, lanjut dia, hal itu kemudian memaksa Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) untuk berpihak pada perusahaan migas asing.

"Sebab, untuk mendorong lifting dibutuhkan akses terhadap modal, teknologi, dan kemampuan mengelola risiko. Harus diakui, itu semua ada di (perusahaan) asing," jelasnya.

Menurut dia, tanpa mengubah tujuan tersebut sulit mewujudkan nasionalisme energi. Dia mengakui bahwa perubahan tujuan pengelolaan migas nasional dari lifting ke pengembangan industri migas domestik memiliki konsekuensi, yakni penurunan lifting.

Namun dia yakin dalam jangka panjang pengembangan perusahaan migas nasional dalam hal ini Pertamina (Persero) akan mendorong penerimaan negara dari sektor migas. Kebijakan ini pun akan lebih menjamin kendali negara terhadap pemanfaatan potensi migas nasional.
(F004/S025)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013