Jakarta (ANTARA) - Bagi pria Betawi, meminang pujaan hati bukan sebatas melantunkan seuntai pantun. Ada serangkaian “ujian” yang harus dijalani untuk membuktikan kesiapan menyunting calon istri. Jika sederet halang rintang itu tak mampu dilalui, maka palang pintu itu pun tak akan pernah terbuka.

Gambaran untuk membuktikan keseriusan mempelai pria dalam meminang gadis dambaan hati itu tercermin dalam tradisi unik masyarakat Betawi bernama palang pintu.

Ketua Sanggar Setu Babakan Syahroni mengatakan dalam sejarahnya, palang pintu merupakan ritual adat yang memadukan pantun dengan seni beladiri silat serta lantunan salawat.

Bermula dari sang pengantin wanita yang memiliki ayah seorang jawara, tradisi palang pintu dinobatkan sebagai makna simbolik pada pernikahan etnis budaya Betawi.

Palang pintu memiliki beberapa tahapan, dimulai dari pantun, silat, hingga sike. Tahapan itu dilakukan sebagai simbol ujian yang harus dilalui mempelai pria untuk membuka pintu restu dari keluarga wanita, dengan cara mengalahkan jawara dari tempat tinggal sang wanita.

Tahapan yang dilakukan memiliki filosofi tersendiri, seperti pantun yang dimaknai dengan keceriaan dalam kehidupan keluarga maupun bermasyarakat. Pantun yang dibawakan biasanya seputar keragaman canda tawa dalam kehidupan berkeluarga.

Dilanjutkan dengan silat yang diartikan dengan pria dalam kehidupan berumah tangga harus mampu berperan sebagai kepala keluarga dan bisa melindungi anak dan istrinya.

Kemudian diakhiri dengan tahapan sike atau pembacaan lantunan salawat dustur. Melambangkan seorang pria dalam berkeluarga harus bisa menjadi imam, baik dalam beribadah maupun kehidupan sehari-hari.

Alunan musik indah yang dihasilkan oleh rebana ketimpring atau rebana kecil menjadi salah satu ikon kesenian adat Betawi yang digunakan saat mengarak pengantin perempuan menjadi latar digelarnya palang pintu.

Palang pintu juga memiliki sebutan lain yang biasa dikenal dengan Berebut Dandang. Tradisi ini menjadi pencetus sebelum terbentuknya palang pintu.

Namun seiring berkembangnya zaman, tradisi Berebut Dandang sudah jarang dilakukan dibandingkan dengan prosesi palang pintu.

Sayangnya, karena kerap dianggap tidak praktis dan menelan biaya besar, tidak sedikit yang mulai meninggalkan tradisi unik yang kaya filosofi itu di tanah kelahiran sendiri.

Hal itulah yang kini senantiasa sedang terus dilestarikan oleh sejumlah komunitas Betawi di Setu Babakan, Jakarta Selatan, salah satunya Sanggar Tari Setu Babakan.

Sebagai Ketua Sanggar Setu Babakan, Syahroni mengakui dalam beberapa waktu terakhir generasi penerus palang pintu di Sanggar Seni Betawi Setu Babakan kian menurun, terlebih pascapandemi dan banyak senior unggul sanggar ini yang sudah bekerja dan berkegiatan di luar kota. Hingga Syahroni kerap mengambil pemain dari luar sanggar ketika ada penawaran penyelenggaraan acara.

Namun meski ada yang sudah mulai meninggalkan adat palang pintu, Syahroni dan komunitasnya tetap bertekad untuk menjaga kelestariannya. “Selama kami masih ada, palang pintu tetap kami lestarikan,” kata Syahroni.


Beradaptasi

Seiring berjalannya waktu, tradisi palang pintu yang telah secara turun-temurun menjadi adat pernikahan masyarakat Betawi kini mulai beradaptasi.

Palang pintu tidak hanya digelar untuk acara mengikat janji pernikahan saja. Kini palang pintu juga bisa diselenggarakan dalam rangkaian acara besar lainnya, seperti mengiringi tamu pejabat. Beberapa modifikasi dilakukan, di antaranya mengurangi tahapan sike atau lantunan salawat.

Selain itu, palang pintu juga tidak kemudian diperuntukkan untuk acara khusus pengantin Betawi saja.

Ada juga masyarakat yang mengagumi ini dan ingin memakai tradisi palang pintu walaupun mereka bukan pengantin Betawi asli. Banyak juga masyarakat Jakarta yang sering mengundang anggota sanggar untuk melakukan palang pintu dalam pernikahan mereka.

Seperti yang dilakukan oleh warga Jakarta yang tertarik dengan kebudayaan Betawi, Erni Yunita dan suaminya Dedy Mulyana.

Baik Erni maupun Dedy yang berdarah Sunda, tradisi palang pintu memiliki keunikan tersendiri dan memiliki nilai positif yang terkandung di dalamnya, sehingga mereka tertarik untuk menggelar palang pintu.

Palang pintu, menurut dia, unik untuk ditonton. Selain itu juga punya nilai yang positif dan pesan mendalam untuk memulai pernikahan.

Hal serupa pun disampaikan oleh Tegar dan Askia, pasangan muda yang belum lama ini mengadakan acara pengikatan janji dan memilih palang pintu sebagai pembuka dalam acaranya.

Bagi dua mempelai asal Betawi ini, tradisi palang pintu harus selalu dilestarikan, keunikan yang terkandung di dalamnya justru membuat mereka semakin tertarik untuk memakai tradisi ini dalam acara penting dan sakral pernikahan mereka.

Mereka memang sudah merencanakan untuk memakai palang pintu saat menikah. Selain memang sudah turun-temurun, palang pintu juga unik dan menghibur. Apalagi, saat ini sudah jarang yang memakai. Jadi kalau bukan geberasi muda yang melestarikan, maka bisa-bisa tradisi ini hilang. 


Dibuat kekinian

Bagi para pegiat komunitas Betawi, tradisi palang pintu sebenarnya memiliki pakem yang baku. Namun agar tetap lestari, mereka kemudian menyadari bahwa dialog ataupun pantun yang disampaikan dalam acara itu harus dibuat kekinian, sehingga mudah dipahami.

Pada praktiknya, kini tak jarang saat palang pintu dilakukan ada diselipkan bahasa gaul, bahkan bahasa asing ke dalam adu pantun atau lelucon di dalamnya.

Dan hal itu, bahkan sudah dianggap lumrah yang dimaklumi oleh para seniman palang pintu dan masyarakat Betawi. Sebab palang pintu dalam sejarahnya juga menggambarkan keseharian masyarakat Betawi yang berkembang dari waktu ke waktu.

Pelatih dan seniman palang pintu di Jakarta Selatan, Andi, berpendapat hal tersebut bukan masalah jika dibandingkan pilihan palang pintu punah dan ditinggalkan, maka lebih baik tradisi ini memilih beradaptasi mengikuti zaman untuk mempertahankan eksistensinya.

Andi sendiri menyatakan semangatnya untuk terus melestarikan palang pintu dengan membuka diri mengedukasi, melatih, dan memberikan informasi tentang budaya Betawi, khususnya palang pintu, kepada siapapun yang tertarik.

Memang faktanya meskipun tak bisa dikatakan punah, namun harus diakui palang pintu tak lagi banyak dikenal, terutama di kalangan generasi muda ibu kota, yang bahkan berdarah Betawi.

Bagi masyarakat yang belum tahu tentang palang pintu biasanya diberi arahan, kadang-kadang ada yang tertarik dan ingin ikut latihan. Para pegiat seni dengan senang hati bisa mengajarkan. Apalagi kebiasaan berpantun sekarang menjadi tren lagi.

Cara ini dapat menjadi solusi demi meningkatkan nilai tradisi ini agar semakin berkembang, sehingga masyarakat lebih paham dan cermat akan pengetahuan budaya Betawi.

Menerima siapapun yang tertarik pada budaya Betawi menjadi murid dari para pegiat, menjadi cara langsung untuk melestarikan palang pintu.

Selain itu, adanya komunitas budaya Betawi yang masih terjaga hingga kini, khususnya di Setu Babakan, Jakarta Selatan, menjadi kabar baik bahwa setidaknya palang pintu masih akan terselenggara.

Namun bukan berarti pekerjaan rumah pelestarian budaya itu usai, palang pintu harus terus menjadi bagian dari literasi budaya yang ditularkan pengetahuannya kepada generasi muda.

Dengan begitu, palang pintu tak sekadar menjadi cerita masa lalu, namun bagian hidup tradisi masyarakat yang unik dan terjaga.

Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang menjaga budaya leluhurnya tetap ada sebagai identitas diri mereka.


*) Priscilla Edwina Putri Nainggolan adalah mahasiswi Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta.


 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023