Khartoum (ANTARA) - Bentrokan hebat dan tembakan artileri kembali meletus di ibu kota Sudan, Khartoum pada Minggu (11/6), di mana para penduduk mengatakan serangan udara kembali terjadi setelah berakhirnya gencatan senjata 24 jam.

Gencatan senjata singkat ini merupakan jeda setelah delapan pekan pertempuran antara faksi-faksi militer yang bertikai.

Saksi mata mengatakan pertempuran antara tentara dan Pasukan Dukungan Cepat paramiliter (RSF) yang terjadi selama beberapa pekan menimbulkan dampak berat bagi penduduk, termasuk pertempuran darat di lingkungan padat penduduk Haji Youssef di Bahri, salah satu dari tiga kota yang berdampingan, termasuk Khartoum dan Omdurman, di sekitar Sungai Nil.

Arab Saudi dan Amerika Serikat, yang menengahi gencatan senjata pada perundingan di Jeddah, mengatakan gencatan senjata telah membantu proses pengiriman beberapa bantuan kemanusiaan penting dan langkah-langkah guna membangun kepercayaan.

"Namun, ada pelanggaran di situ. Setelah berakhirnya gencatan senjata jangka pendek, para fasilitator sangat kecewa dengan dimulainya kembali kekerasan serius yang kami kecam dengan keras," kata kedua negara tersebut dalam sebuah pernyataan.

Tepat setelah gencatan senjata berakhir pada pukul 6 pagi waktu setempat, para saksi mata mengatakan bentrokan dan tembakan artileri berlanjut di utara Omdurman.

Mereka juga melaporkan pertempuran di Khartoum selatan dan tengah, dan di Shambat di sepanjang Sungai Nil di Bahri hingga jembatan Halfiya yang strategis, yang menyeberang ke Omdurman.

"Gencatan senjata membuat kami sedikit rileks, tetapi perang dan ketakutan kembali lagi hari ini," kata Musab Saleh (38), warga Khartoum selatan.

Mohamed Usher, seorang aktivis lokal yang mengunjungi dua lokasi penembakan artileri di Khartoum selatan, mengatakan sedikitnya 11 warga sipil tewas di sana. Sementara di Khartoum timur, enam warga sipil tewas akibat pertempuran itu.
Baca juga: Parlemen desak Arab lebih aktif mengatasi krisis Sudan

Eksodus massal

Perang antara tentara Sudan dan RSF pecah pada 15 April terkait ketegangan yang terkait dengan rencana yang didukung internasional untuk transisi menuju pemerintahan sipil.

Konflik tersebut telah menewaskan ratusan warga sipil dan menelantarkan lebih dari 1,9 juta orang, serta memicu krisis kemanusiaan besar yang mengancam akan menyebar ke seluruh kawasan yang bergejolak.

Pertempuran telah terkonsentrasi di ibu kota, yang telah berubah menjadi zona perang serta dilanda penjarahan dan bentrokan. Kerusuhan juga terjadi di tempat lain termasuk wilayah Darfur sebelah barat, yang sudah dilanda konflik yang memuncak pada awal 2000-an.

Warga dan aktivis telah melaporkan kerusakan dalam beberapa hari terakhir di El Geneina, dekat perbatasan dengan Chad.

Gelombang serangan baru juga muncul dari suku nomaden Arab yang memiliki hubungan dengan RSF.

Di antara mereka yang tewas adalah sejumlah aktivis hak asasi manusia, pengacara dan dokter, menurut Darfur Bar Association, yang memantau konflik di wilayah tersebut.

Kota ini sebagian besar terputus dari jaringan telepon selama beberapa pekan.
Baca juga: Pertikaian di Sudan meningkat, perdamaian belum terlihat

Penjarahan meluas

Kota lain yang terkena dampak adalah El Obeid, ibu kota negara bagian Kordofan utara di barat daya Khartoum dan di jalur utama ke Darfur. Penduduk mengatakan mereka terkepung karena konflik, dengan pasokan makanan dan obat-obatan terputus.

Wilayah Kordofan yang lebih luas merupakan daerah pertanian yang penting serta menjadi sumber ternak, biji minyak, dan gom arab.

"Situasinya sulit. RSF tersebar di jalan-jalan antardesa dan mereka melakukan penjarahan. Bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya menjadi berbahaya," kata warga Kordofan utara Mohamed Salman kepada Reuters melalui telepon.

"Kami tidak tahu bagaimana kami akan menanam atau bagaimana kami akan hidup," lanjutnya.

RSF mengatakan sedang mencoba melawan penjarahan, dan membantah bertanggung jawab atas kekerasan di Darfur.

Sekitar 400.000 dari warga yang meninggalkan rumah telah menyeberang ke negara tetangga, dengan setengah dari mereka menuju utara ke Mesir.

Pada hari Sabtu (10/6), Mesir memperketat aturan masuk dengan memperpanjang persyaratan visa masuk bagi pria berusia 16-50 tahun untuk semua warga negara Sudan.

Bahkan sebelum aturan diubah, ribuan orang Sudan harus menunggu lama di dekat perbatasan darat untuk mendapatkan visa.

Di bandara Kairo, 22 warga Sudan sudah dideportasi setelah ditolak masuk berdasarkan aturan baru, kata sumber di bandara.

Baca juga: Lebih dari 13,6 juta anak di Sudan butuh bantuan kemanusiaan segera
Baca juga: PBB kutuk keras penjarahan pusat logistik WFP di Sudan


Sumber: Reuters

Penerjemah: Resinta Sulistiyandari
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023