Kalau bicara kebijakan hilirisasi, salah satunya yang kami lihat adalah larangan ekspor. Ini sebuah dukungan untuk program hilirisasi
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Daymas Arangga menilai langkah pemerintah menghentikan ekspor mineral mentah sudah tepat sebagai komitmen guna mendukung implementasi kebijakan hilirisasi.

"Kalau bicara kebijakan hilirisasi, salah satunya yang kami lihat adalah larangan ekspor. Ini sebuah dukungan untuk program hilirisasi," ujar Daymas saat dialog Forum Merdeka Barat 9 bertajuk "Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah" yang digelar secara daring, Senin.

Energy Watch Indonesia, lanjut dia, melihat pemerintah sudah serius dalam melakukan pelarangan ekspor mineral mentah, mulai dari pelarangan ekspor bijih nikel kendati sudah digugat negara Uni Eropa hingga Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan bauksit per 10 Juni 2023.

Kendati demikian, ia mengatakan pemerintah perlu melakukan kajian lebih lanjut yang komprehensif dalam melakukan pelarangan terhadap berbagai jenis mineral mentah lantaran beberapa jenis mineral tidak memiliki prospek yang cemerlang layaknya nikel dan bauksit.

Adapun hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam melakukan pelarangan ekspor, kata Daymas terkait karakteristik hingga potensi pasar masing-masing mineral.

Ia mencontohkan Republik Demokratik Kongo yang melakukan hilirisasi terhadap kobalt namun berakhir gagal. Padahal, Energy Watch Indonesia melihat hilirisasi nikel Indonesia dapat menjadi success story untuk negara lain.

"Namun, kita perlu melihat pengalaman Republik Demokratik Kongo. Mereka itu memberlakukan hilirisasi untuk kobalt, namun ini tidak terlalu berhasil. Karena itu, perlakuannya perlu dibedakan antara mineral satu dan mineral yang lain," ucap Daymas.

Ia mengapresiasi langkah pemerintah yang dinilai cukup tegas memberlakukan dan mengimplementasikan kebijakan hilirisasi. Kendati sejak awal, lanjut dia, kebijakan tersebut mendapat penolakan dari sejumlah kalangan, utamanya para pengusaha.

"Yang perlu ditekankan adalah bagaimana integrasi antara pemerintah dan pengusaha bisa berjalan karena memang penyerapan domestik jadi sebuah waktu transisi yang menyakitkan bagi pengusaha. Karena ketika dilarang, artinya kan ada penyerapan keluar yang berkurang dan akhirnya hanya bergantung pada market domestik," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Energy Watch Indonesia juga melihat kebutuhan mineral untuk pasar domestik masih belum tercukupi ketika pemerintah melakukan hilirisasi. Di sisi lain, banyak negara yang siap menerima mineral dari Indonesia ketika pemerintah sukses melakukan hilirisasi seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Australia.

"Berbicara mengenai pertambahan nilai untuk diekspor, banyak negara-negara yang masih terima seperti Jepang, Amerika, Australia. Itu juga mereka masih membutuhkan beberapa mineral dari Indonesia. Jadi, tidak usah khawatir untuk itu," ucap Daymas.

Oleh karena itu, Energy Watch Indonesia mengharapkan pemerintah tidak hanya fokus mensukseskan kebijakan hilirisasi, namun tetap memastikan kualitas daripada kuantitas energi. Artinya, kata dia, energi yang disuplai ke smelter-smelter yang ada tersebut sudah rendah emisi.

Daymas menyebutkan pasar dunia saat ini sedang peduli dengan kualitas energi yang ditandai dengan penyediaan energi rendah emisi. Menurutnya, hal itu dipastikan melalui proses produksi, tata kelola hingga dampaknya terhadap lingkungan.

"Di mana itu dihasilkan dari kegiatan smelter atau hilirisasi. Jadi, itu yang akan menambah kualitas dari produk yang dihasilkan oleh smelter-smelter di Indonesia," ujar Daymas.

Baca juga: Menteri ESDM memastikan penghentian ekspor mineral mentah
Baca juga: Kementerian ESDM sebut hilirisasi nikel paling pesat perkembangannya
Baca juga: Menteri ESDM: Progres lima smelter mineral logam di atas 50 persen

 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023