Jakarta (ANTARA) - Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Fadil Zumhana mengatakan bahwa pihaknya telah menyelesaikan 2.909 perkara dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) sejak diundangkannya Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 (Perja 15/2020) tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

“Kurang lebih 2.909 perkara sampai saat ini yang telah kami selesaikan dengan keadilan restoratif,” kata Fadil dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

Dia menyebut bahwa pelaksanaan penyelesaian perkara keadilan restoratif tersebut dilakukan secara selektif oleh kejaksaan dengan dilakukannya gelar perkara yang dipimpin oleh Jampidum pada pagi hari setiap harinya.

“Kami mengukur itu, kami minta laporan dari Kajati agar Kajari terus memonitor setiap perkara yang kami putus setiap hari agar masyarakat dapat merasakan keputusan yang adil, yang dapat diterima semua pihak,” ujarnya.

Keadilan restoratif, kata dia, menjadi program prioritas Jaksa Agung RI guna menghadirkan keadilan substantif bagi masyarakat.

“Bagaimana mewujudkan keadilan yang dapat diterima masyarakat, keadilan yang benar-benar dapat dirasakan, baik oleh korban maupun tersangka ataupun lingkungan yang lebih besar,” ucapnya.

Dia berharap pelaksanaan keadilan restoratif mampu mengembalikan keseimbangan kosmis serta memulihkan keutuhan dalam masyarakat, termasuk terjadinya perubahan paradigma bagi jaksa itu sendiri.

“Kami berhasil menggiring merubah pola pikir jaksa yang tadi sifat legalistis formil, kembali kepada penyelesaian perkara yang dirasakan masyarakat. Kami tidak lagi ingin memenjarakan orang, kami ingin memulihkan keadaan seperti keadaan semula, supaya masyarakat hidup tertib, nyaman, berdampingan untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa,” tuturnya.

Masyarakat, lanjut dia, juga merespons positif terhadap pelaksanaan keadilan restoratif yang dijalankan sesuai Perja 15/2020 itu.

“Tidak mendapat reaksi dari masyarakat berupa celaan ataupun pra-peradilan mungkin yang tidak puas, ini menunjukkan adalah kepuasan masyarakat terhadap pelaksanaan restorative justice,” katanya.

Terakhir, dia pun menepis anggapan terkait pelaksanaan keadilan restoratif sebagai tempat untuk menegosiasikan suatu perkara.

“Tentang ada kecurigaan ataupun ada pendapat sebagian bahwa RJ tempat hengki pengki atau tempat bernegosiasi itu kami tepis tidak pernah ada karena sampai saat ini belum ada protes dari masyarakat ataupun praperadilan yang diajukan terhadap penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” ucap dia.

Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI Johan Budi mengingatkan agar jangan ada kesan bahwa keadilan restoratif merupakan jalan untuk “damai” atas suatu perkara yang sedianya tidak masuk dalam Perja 15/2020.

“Tadi dikatakan Pak Johan restorative justice jangan dijadikan tempat untuk bernegosiasi atau lobi terkait dengan penyelesaian perkara,” timpal Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni yang memimpin jalannya RDP.

Baca juga: Kejagung hentikan 228 perkara lewat keadilan restoratif di bulan puasa
Baca juga: Menkumham sebut keadilan restoratif di KUHP atasi "overcapacity" lapas
Baca juga: Kebijakan Restorative Justice Jaksa Agung diapresiasi internasional

 

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2023