Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Didik J Rachbini menyatakan, pemerintah seharusnya lebih memperketat utang luar negeri sebagai sumber pendanaan pembangunan. Menurut ekonom yang juga Ketua Komisi VI DPR RI itu di Jakarta, Rabu, pemerintah seharusnya lebih mengandalkan sumber pendanaan dari dalam negeri ataupun sumber lainnya. "Kalaupun ada utang harus untuk membiayai proyek-proyek khusus atau pembangunan," katanya di sela Rapat Dengar Pendapat Komisi VI dengan Menteri Perdagangan Mari E. Pangestu. Apalagi, tambahnya, penyerapan anggaran pembangunan di setiap departemen saat ini kurang dari 10 persen, sehingga perlu ditingkatkan. Sebelumnya pemerintah menyatakan tidak akan mengajukan pinjaman baru dalam pertemuan "Consultative Group on Indonesia" (CGI) pada Rabu ini, namun mengajukan relokasi pinjaman yang sudah disepakati dan pangajuan hibah. "Kita tidak akan melakukan pinjaman baru. Yang akan dilakukan adalah relokasi pinjaman yang sudah disepakati, nanti time frame-nya dalam APBN 2006," kata Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta. Ia menyebutkan, pinjaman yang akan direlokasi misalnya dari Bank Pembangunan Asia (ADB) sekitar 50 juta hingga 60 juta dolar AS, dan pinjaman dari Bank Dunia sebesar 40 juta hingga 50 juta dolar As. Sedangkan hibah yang akan diberikan dalam kerangka bilateral mencapai sekitar 55 juta dolar AS dan dalam kerangka multilateral sekitar 10 juta dolar AS. Sementara itu Koalisi Anti Utang (KAU) menyerukan agar pemerintah tidak perlu lagi membuat utang baru melalui Consultative Group on Indonesia (CGI) tahun ini, termasuk pinjaman untuk pemulihan pasca bencana. Dalam siaran persnya KAU menyatakan, pemerintah selama ini tidak mampu menyerap komitmen utang yang sudah dibuat. Pembuatan utang sejak 1967 hingga 2005 ternyata telah menumpuk komitme utang sebesar 365 miliar dolar AS yang mana dari komitmen tersebut baru cair 162 miliar dolar AS sementara 203 miliar dolar AS belum bisa dicairkan. Padahal setiap komitmen utang yang belum bisa dicairkan pemerintah wajib membayar biaya komitmen. Dari komitmen yang belum cair sebesar 203 miliar dolar AS tersebut pemerintah harus membayar Rp18 triliun yang setara gaji 1,5 juta orang sebesar Rp1 juta per bulan. Menurut KAU, tradisi pembuatan utang luar negeri selama bertahun-tahun menjadikan ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri semakin besar. Pinjaman dari CGI selama ini hanya dikabulkan jika prasyarat yang diajukan kreditor bisa dipenuhi Indonesia, sehingga kelompok tersebut bukan sekedar forum untuk mendapatkan pinjaman luar negeri namun menjadi sebuah kekuatan penekan dari kreditor kepada Indonesia. Tekanan tersebut muncul dalam bentuk desakan kepada pemerintah untuk menaikkan pajak barang konsumsi dan mengurangi berbagai macam subsidi termasuk menjual aset negara melalui privatisasi.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006