Jakarta (ANTARA News) - Setelah disetujui oleh lebih dari 140 negara anggota PBB, konvensi yang mengatur pengurangan emisi merkuri bakal ditandatangani dalam konferensi diplomatik di Minamata dan Kumamoto, Jepang, 10 Oktober 2013.

Konvensi baru internasional mengenai merkuri yang disebut dengan Konvensi Minamata tercapai setelah tiga tahun pembahasan, dan terakhir disepakati dalam pertemuan ke-5 intergovernmental negotiating committee (INC), di Jenewa, 12-19 Januari lalu.

Dalam perundingan itu, ketua delegasi Indonesia Deputi IV MENLH Masnellyarti Hilman memastikan bahwa Konvensi Minamata menerapkan pendekatan berimbang, demikian dikutip dari laman resmi Kementerian Lingkungan Hidup (KemLH).

Konvensi itu di satu sisi harus bisa melindungi kesehatan dan lingkungan hidup, tapi di sisi lain target harus disesuaikan dengan kondisi di dalam negeri dan kebutuhan perekonomian Indonesia.

Merkuri atau raksa masih banyak digunakan oleh para penambang emas kecil di Sumatera dan Kalimantan.  Merkuri yang diselundupkan dari luar negeri tersebut digunakan untuk memisahkan emas dari bahan-bahan lainnya namun merusak kesehatan komunitas penambang emas.

Emisi merkuri juga dapat dihasilkan dari kegiatan industri yang menggunakan bahan bakar batubara misalnya di industri pembangkit. Asia Timur dan Tenggara merupakan penyumbang 40 persen emisi merkuri ke udara.

Nama konvensi pembatasan emisi merkuri diambil dari Minamata, sebuah daerah yang pernah mengalami keracunan methylmercury yang parah pada akhir 1950-an. Akibat pencemaran itu, ratusan orang tewas dan lebih dari 2.500 penduduk setempat terganggu kesehatannya.  

Tragedi Minamata membuka mata dunia mengenai bahaya merkuri untuk kesehatan dan lingkungan hidup.
(E012)

Pewarta: Ella Syafputri
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013