Jakarta (ANTARA) - Tadinya, sampai awal tahun ini masih ada empat wartawan India yang bertugas di China, tapi April lalu menyusut menjadi dua orang, setelah seorang wartawan radio Prasar Bharati dan seorang jurnalis The Hindu, diminta angkat kaki oleh China.

Pekan lalu, wartawan The Hindustan Times menjadi yang ketiga yang dipaksa meninggalkan China.

Ternyata, wartawan keempat pun yang berasal dari Press Trust of India (PTI), bernasib sama. Wartawan kantor berita India ini diberi waktu sampai akhir Juni 2023 untuk meninggalkan China.

Alasannya, visa keempat wartawan itu sudah tak berlaku, sehingga tak boleh lagi bekerja di China.

China terpaksa menempuh langkah itu karena menganggap India sebelumnya sudah berlaku tidak adil dan diskriminatif terhadap wartawan China yang bertugas di India.

Sejak 2020 India dianggap tak mau memperpanjang visa untuk wartawan China, sehingga jumlah wartawan China di India pun berkurang drastis dari semula 14 orang menjadi hanya seorang koresponden.

"Sungguh disayangkan pihak India tak melakukan apa-apa," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin, seperti dikutip Reuters, awal pekan ini.

Sekilas, persoalan usir mengusir wartawan itu persoalan administratif semata. Namun, jika dicermati lagi, insiden itu adalah salah satu wujud panasnya hubungan kedua negara dalam beberapa tahun terakhir.

Dua negara yang dalam berbagai kesempatan berusaha tidak saling bertentangan itu, sebenarnya menyimpan konflik, terutama setelah pandemi COVID-19, China dipandang berubah agresif oleh sebagian kalangan, kendati retorika-retorika verbal yang disuarakannya berisi dialog, konsultasi, dan kolaborasi.

India yang memiliki perbatasan darat sepanjang 3.500 km dengan China adalah salah satu yang melihat realitas itu.

Wang Wenbin menyebutkan sejak 2020 India tak mau memperpanjang visa wartawan China.

Tapi tahun 2020 itu pula sebenarnya kedua negara memasuki babak panas dalam hubungan mereka, ketika tentara kedua negara bentrok di Ladakh timur yang berada di batas garis perbatasan yang dinamai Line of Actual Control (LAC).

Konflik itu sendiri muncul ke permukaan pada 5 Mei 2020 ketika tentara kedua negara saling berhadapan di sepanjang LAC. Lalu, pada 15 dan 16 Juni tentara kedua negara bentrok fisik tanpa senjata di Ladakh timur, sampai menewaskan sejumlah tentara dari kedua belah pihak.

Pangkal bentrok itu sendiri bermula dari keberatan pasukan China terhadap upaya India membangun jalan di lembah Sungai Galwan di Ladakh timur.

Ladakh adalah bagian timur kawasan Kashmir. Kashmir sendiri disengketakan oleh Pakistan dan China, yang sama-sama berbatasan dengan India.

LAC pada dasarnya adalah garis demarkasi untuk daerah-daerah perbatasan yang disengketakan India dan China.

Konsep ini awalnya dicetuskan pada 1959 oleh Perdana Menteri China Zhou Enlai, tetapi ditolak oleh Jawaharlal Nehru yang waktu itu menjadi Perdana Menteri India.

LAC lalu dipakai sebagai rujukan untuk garis perbatasan yang terbentuk setelah Perang India-China pada 1962.


Masalah geopolitik baru

Sampai kini kedua negara masih tidak sepakat mengenai perbatasan mereka.

India mengklaim Aksai Chin yang berada di sebelah timur Ladakh, sebagai wilayahnya. Sebaliknya, China mengklaim Arunachal Pradesh di India tenggara sebagai wilayahnya.

Aksasi Chin dan Arunachal Pradesh dipisahkan oleh Nepal, India bagian tenggara, dan Bhutan. Letaknya seperti Pakistan dengan Bangladesh.

Konflik di Galwan pada 2020 itu sendiri meluas ke ranah lain.

Sepekan setelah bentrokan itu, peretas-peretas China melancarkan serangan siber sebanyak 40.300 kali ke ruang siber India.

India mengambil langkah drastis, dengan salah satunya melarang TikTok dan sejumlah aplikasi China, dengan alasan melindungi keamanan data dan ruang siber India.

Tak cuma itu, India juga memerintahkan Kementerian Perdagangan dan Industri mereka untuk mengharuskan adanya persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah sebelum investasi asing langsung (FDI), khususnya dari China, masuk ke sektor-sektor sensitif India.

Langkah India semakin ekstensif ketika mereka juga aktif memproyeksikan kekuatan militer yang tak lagi di perairan mereka di Samudera Hindia, tapi juga sampai jauh ke wilayah-wilayah, seperti Laut China Selatan.

India juga aktif meningkatkan infrastruktur di sepanjang perbatasan dengan China, demi menunjang mobilitas militer India ke daerah perbatasan, dan membuat daerah-daerah perbatasan tidak tertinggal dari wilayah-wilayah China.

Dalam kata lain, kendati kedua negara berusaha memperlihatkan wajah yang satu sama lain saling akomodatif dan kooperatif, sekam permusuhan di antara kedua negara ini sulit dihilangkan.

Baru-baru ini Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar, bahkan menegaskan bahwa hubungan India-China dalam keadaan tidak normal dan menyatakan persahabatan India-China hanya tercipta jika tidak ada lagi serangan di perbatasan kedua negara.

India, bahkan mungkin cenderung untuk sama agresifnya dengan China. Mereka berusaha meningkatkan level kerjasamanya dalam kerangka Dialog Keamanan Quadrilateral bersama Australia, Jepang dan Amerika Serikat yang kerap disebut dengan Quad saja itu.

India juga turut memproyeksikan pengaruhnya sampai jauh ke Pasifik Selatan di mana China juga aktif di kawasan ini.

Dalam pertemuan dengan pemimpin 14 negara Pasifik Selatan pada 22 Mei 2023, Perdana Menteri India Narendra Modi menjanjikan negaranya sebagai mitra andal untuk negara-negara Pasifik Selatan yang lagi disulitkan oleh krisis pasokan dan perubahan iklim.

China yang karena postur ekonomi dan politiknya sudah sedemikian besar, tak ingin situasi dengan India ini menciptakan front baru. Mereka berusaha menurunkan tensi konflik dengan India.

Beberapa waktu lalu, Global Times yang dianggap suara pemerintah China, menurunkan editorial yang meminta kedua negara mengesampingkan masalah perbatasan demi memajukan hubungan bersahabat dan kerja sama dalam berbagai bidang lain, seperti hubungan masyarakat ke masyarakat dan antarmedia.

Global Times menilai pembatasan kerja wartawan hanya akan memperdalam kesalahpahaman yang pada gilirannya merusak hubungan India-China.

Namun, bara konflik masih terasa di sepanjang LAC karena kedua negara menempatkan pasukan dalam jumlah besar antara 50.000 sampai 60.000 tentara, lengkap dengan wahana tempur masing-masing.

Ini membuat hubungan kedua negara bisa setiap waktu memanas, selain dapat menciptakan masalah geopolitik baru di Asia Selatan yang sudah dipusingkan oleh berbagai masalah, termasuk sektarianisme, dan juga Asia secara keseluruhan.

Meskipun demikian, cara kedua negara menjembatani perbedaan dan menemukan solusi konflik, menjadi sangat menarik diikuti, karena ini bisa menentukan kecenderungan hubungan keamanan di Asia, atau bahkan kawasan Indo Pasifik.


 

Copyright © ANTARA 2023