Chongqing, China (ANTARA) - Jika bukan karena butiran pasir yang tertiup angin yang menyengat tubuhnya, Wang Zhixiang mungkin akan mudah lupa bahwa dirinya sedang bertani di Gurun Taklimakan, gurun terbesar di China sekaligus salah satu daerah terkering di dunia.

Kondisi sulit di Taklimakan, yang berlokasi jauh di pedalaman Daerah Otonom Uighur Xinjiang, membuat pertanian di gurun tersebut menjadi tidak praktis, sehingga warga setempat biasanya mengandalkan pasokan makanan dari provinsi-provinsi lainnya.

Namun, Wang dan rekan-rekannya dari Universitas Jiaotong Chongqing ingin mengubah situasi ini.

Dengan memanfaatkan teknik inovatif yang dinamai "desert soilization", mereka mengubah pasir gurun yang tandus menjadi lahan yang produktif dan dapat ditanami dengan biaya terjangkau.

Mereka telah mematenkan proses mencampur pasta atau zat perekat yang terbuat dari selulosa tanaman dengan pasir dan mengaplikasikannya pada permukaan gurun, sehingga memberikan sifat dan kemampuan yang sama dengan tanah untuk menopang air, udara, dan pupuk.

Perekat itu dikembangkan oleh Profesor Yi Zhijian dan timnya pada 2013 setelah penelitian selama bertahun-tahun.

Yi adalah ilmuwan yang menekuni spesialisasi mekanika materi partikulat di universitas di Chongqing, yang merupakan kota pegunungan dengan cakupan hutan yang luas, dan sangat berbeda dengan lanskap gurun.

"Setiap kali saya memikirkan penemuan yang dapat mengubah pasir menjadi tanah tersebut, saya menjadi terlalu senang hingga susah tidur," ujar pria berusia 59 tahun tersebut, sembari mengenang masa-masa ketika penemuan itu dipublikasikan untuk pertama kalinya.

Pada 2016, di Gurun Ulan Buh di Mongolia Dalam, sebuah lahan berpasir yang luasnya dua kali ukuran lapangan sepak bola diolah melalui metode baru itu dan dengan demikian menjelma menjadi lahan yang subur, dan menghasilkan panen padi, jagung, tomat, semangka, serta bunga matahari.

Ilmuwan tersebut menemukan bahwa lahan pengujian itu membutuhkan lebih sedikit air, tetapi menghasilkan hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang tidak diolah.

Setelah itu, teknologi tersebut diuji di beberapa lokasi menggunakan eksperimen penanaman berskala lebih besar. Biaya untuk menerapkan sistem pengolahan itu antara 29.850 yuan (1 yuan = Rp2.096) hingga 44.776 yuan per hektare, yang masih sesuai dengan anggaran sebagian besar petani, papar Yi.

Keberhasilan uji coba tersebut memungkinkan tim itu menepis keraguan dan menerima penghargaan internasional, termasuk Earthshot Prize 2022, sebuah penghargaan bidang lingkungan yang didirikan oleh Pangeran William dari Inggris, atas upaya mereka dalam melindungi dan memulihkan alam.

Saat negara-negara di seluruh dunia memperingati Hari Dunia untuk Memerangi Desertifikasi dan Kekeringan pada 17 Juni, teknologi "desert soilization" kembali mendapatkan sorotan.

Kisah Yi merupakan contoh yang tepat dari upaya berkelanjutan China dalam menerapkan inovasi untuk membendung perluasan gurun dan melindungi lingkungan ekologis global.

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2023