Jakarta (ANTARA) - Komaruddin Rachmat, lansia penyintas stroke itu sedang bersiap menuntaskan ambisinya berjalan kaki dari Yogyakarta menuju Bandung sejauh 400 KM lebih.

Ambisi itu semata-mata untuk menginspirasi, bahwa mereka yang senasib, sebenarnya bisa kembali beraktivitas normal selama ditunjang semangat juang tinggi.

September 2012 menjadi kenangan pahit yang tak akan dilupakan Komaruddin. Kerusakan otak akibat gangguan suplai darah membuat separuh tubuhnya lumpuh.

Semangat Komaruddin pun kian meredup. Apalagi sejak dua tahun sebelumnya ia sudah purnatugas sebagai pegawai di salah satu BUMD di Kota Bekasi, Jawa Barat.

Selama enam bulan menjalani perawatan di RS Harum, Kalimalang, Jakarta Timur, dia dihadapkan pada dua pilihan yang harus diputuskan, menyerah di kursi roda, atau berjuang sekuat tenaga untuk terus bergerak, hingga kembali normal.

Komaruddin memilih yang kedua. Setelah dinyatakan pulih dari stroke, ia pun rutin berjalan kaki sejauh 12 KM dari Stasiun Cikarang menuju ke kantor tempat dulu ia bekerja.

"Stroke harus dilawan, jangan memilih berakhir di kursi roda," katanya kepada ANTARA.
Penyintas stroke asal Bekasi, Jawa Barat, Komaruddin (kedua kiri) berpose bersama Tim Cahaya Foundation di Jalan M Hasibuan, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (2/6/2023). (ANTARA/Andi Firdaus)

Hasil studi Jurnal Stroke pada 2013 melaporkan bahwa berjalan kaki secara rutin dapat meningkatkan kesehatan pasien stroke dari sisi fisik, pergerakan tubuh, maupun kualitas hidup.

Bagi Komaruddin berjalan kaki adalah aktivitas yang menyenangkan sekaligus murah untuk kembali melatih otot-otot yang pernah kaku akibat stroke.

Bahkan, di usianya yang menginjak 65 tahun pada 25 Oktober 2019, Komaruddin berhasil menunaikan nazar menyelesaikan etape Gedung Sate Bandung menuju Monas Jakarta dengan berjalan kaki selama lima hari.

Saat itu ia didampingi tiga orang anggota tim yang memonitor kesehatan berikut satu unit ambulans dari Cahaya Foundation.

Tepat pada 29 Oktober 2019 di Hari Stroke se-Dunia, Komaruddin tiba di Monas. Etape sejauh 153 KM itu ia selesaikan rata-rata 36--40 KM per hari.

Long march Siliwangi

Di usianya yang kini menginjak 69 tahun, Komaruddin tampak masih bugar, usai menyelesaikan sesi latihan berjalan kaki sejauh 10 kilometer. Nyaris tak ada lagi tanda stroke di tubuhnya, kecuali jari manis dan kelingking di lengan kiri yang masih tertekuk kaku.

Jemari itu masih bisa bergerak untuk melepas jaket sauna yang membungkus tubuh Komaruddin. Tapi untuk membuka kancing baju, masih dirasa sulit.
Penyintas stroke asal Bekasi, Jawa Barat, Komaruddin (65), memperlihatkan sepatunya yang rusak di Jalan M Hasibuan, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (2/6/2023). (ANTARA/Andi Firdaus)

Pada 5 hingga 26 Agustus 2023, ia berencana mengulang perjalanan jauh. Kali ini dari Titik 0 Yogyakarta menuju Gedung Sate Bandung, 400 KM lebih jarak yang akan ditempuh, dengan asumsi setiap hari melibas sekitar 20 KM perjalanan dalam waktu 20 hingga 21 hari.

Kali ini, tim pemandu dan ambulans sepenuhnya ditangani Cahaya Foundation, yang dengan sepenuh hati akan mendampingi perjalanannya sejak awal hingga selesai.

Berbekal momentum Kemerdekaan Indonesia di 17 Agustus, Komaruddin mengusung jargon "Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati" untuk menginspirasi banyak orang agar membiasakan hidup sehat.

Lantas, apa sebenarnya yang melecut semangat Komaruddin selama ini mau menempuh perjalanan jauh?

Kisah pahit dan getir para anggota Divisi Siliwangi yang harus menempuh jarak 600 kilometer demi kembali ke kampung halaman pada Mei 1948, selalu terbayang di kepala Komaruddin, hingga melecut semangatnya untuk berjalan kaki sejauh mungkin.

Runtuhnya Perjanjian Renville yang ditetapkan oleh Belanda-Indonesia mengharuskan para "Maung" kembali ke kampung halamannya, sesuai perintah Jenderal Soedirman, kala itu.

Perjalanan itu ditempuh dengan banyak pengorbanan. Bukan hanya kehilangan harta dan benda, darah dan air mata pun harus mereka relakan.

Sepanjang jarak 600 KM, para peserta long march harus berkawan akrab dengan kelaparan, penyakit, hingga serangan militer Belanda dan teror pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Bagi Komaruddin, kisah jalan pulang serdadu Siliwangi adalah adegan seru yang setiap saat bisa ia putar di ingatan, manakala butuh semangat untuk bisa sampai ke tempat tujuan.


Youtuber

Meski memilih tertutup tentang kehidupan keluarga, tapi ia sangat antusias menceritakan kegemarannya merekam berbagai hal yang dilihat dan diunggah ke dalam saluran YouTube.

Sejak merilis video pertamanya pada 7 Februari 2021, kini saluran bernama "Stroke Analysis" telah menggaet lebih dari 3.000 lebih pengikut lewat 113 karya yang ia buat dan unggah.

Didera pengalaman stroke, mengubah Komaruddin sebagai penyintas yang melek pengetahuan seputar ilmu neurologi atau kelainan syaraf, hingga berbagai hal yang berhubungan dengan stroke.

Penghobi sop buntut dan lauk tunjang pada masakan Padang itu menyakini jika gangguan peredaran darah pada otak yang membuatnya lumpuh diakibatkan stres hingga asupan makanan tidak sehat.

Kemampuan dan konsistensinya itu pun mendulang pundi rupiah yang kini rutin diterima setiap bulan rata-rata Rp1,5 juta.
Penyintas stroke asal Bekasi, Jawa Barat, Komaruddin (65), berpose dalam tayangan YouTube "Stroke Analysis". (ANTARA/Andi Firdaus)

Lawatan ke sejumlah rumah sakit umum daerah (RSUD) di sepanjang jalan Yogyakarta-Bandung direncanakan menjadi materi konten lanjutan yang akan tayang di channel-nya.

Di sana, ia akan menjadi pembicara di hadapan para pasien stroke untuk menyampaikan kisah inspiratif seputar perjuangan untuk menjalani kehidupan setelah stroke.

Ada dua pesan yang dia sampaikan. Pertama, kepada mereka yang terkena stroke untuk jangan berputus asa, asal tahu cara dan disiplin hidup sehat.

Pesan kedua, disampaikan kepada pemerintah untuk lebih peduli masalah stroke sebagai penyakit katastropik yang mematikan. Pemerintah didorong untuk membuat peta jalan, jangan sampai pasien stroke tersesat pada tawaran pengobatan alternatif yang belum tentu tepat.

Sosok Komaruddin menjadi secuplik kisah inspirasi bagi banyak pasien lumpuh yang kini memilih menyerah di kursi roda. Ikhtiar dan semangat juang yang kuat membuktikan bahwa vonis stroke bukanlah akhir dari segalanya.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023