"Transformasi digital yang semakin masif telah menjadikan resiliensi siber semakin mendesak dan relevan," kata Fathul Wahid saat seminar dan lokakarya bertajuk "Yogyakarta Cyber Resilience 2023" di Kampus UII, Yogyakarta, Senin.
Menurut dia, ancaman siber yang terus berkembang secara konstan mengharuskan seluruh pihak memahami serta menghadapinya dengan kesiapan dan ketahanan yang tepat.
Secara umum, kata Fathul, resiliensi siber adalah kemampuan suatu organisasi atau sistem untuk bertahan dari serangan siber, mengatasi dampaknya, dan pulih dengan cepat setelah terjadi insiden keamanan.
Resiliensi siber, menurut dia, melibatkan serangkaian tindakan proaktif dan responsif yang melibatkan kebijakan, praktik, dan teknologi yang tepat untuk melindungi sistem, data, dan infrastruktur yang terkait.
"Tak jarang kita membaca berita tentang serangan siber yang mengekspos celah dalam sistem keamanan, mencuri data pribadi, dan merusak reputasi organisasi. Serangan siber terhadap sebuah bank nasional beberapa waktu lalu tampaknya masih segar dalam ingatan kita semua," ujar Fathul.
Menurut dia, dampak dari serangan siber, tidak sekadar terkait dengan infrastruktur yang tidak berjalan seperti seharusnya, tetapi reputasi organisasi dapat runtuh dalam waktu sekejap, sehingga berdampak kepada kepercayaan publik yang semakin turun.
Padahal, kata Fathul, memperbaiki kepercayaan publik bukan sesuatu yang mudah dilakukan, sehingga alasan itu, saat ini penting untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip resiliensi siber.
Ia menyebut resiliensi siber, antara lain terkait dengan penerapan kebijakan keamanan yang kuat, pelatihan pegawai tentang praktik keamanan siber, dan pengujian kelemahan sistem, serta pemantauan keamanan secara proaktif sehingga membantu mendeteksi ancaman sebelum terjadi.
"Ragam serangan siber juga berkembang dari waktu ke waktu. Karenanya, organisasi juga harus beradaptasi dengan perubahan lingkungan keamanan yang cepat," tutur Fathul Wahid.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2023