Jakarta (ANTARA) - Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik aktif, yaitu Indo-Australia, Eurasia, Pasifik, dan Filipina.

Batas pertemuan lempeng yang ditandai dengan kegempaan, dan konsekuensi pergerakan lempeng telah menghasilkan struktur geologi berupa sesar dan terbentuknya rangkaian gunung api.

Tsunami adalah gelombang gravitasi yang dihasilkan akibat terganggunya kolom air, salah satunya adalah adanya deformasi di dasar laut yang disebabkan oleh gempa Bumi.

Tidak hanya gempa, penyebab terganggunya kolom air laut juga bisa dihasilkan oleh aktivitas gunung api dan pergerakan masa ke dalam air.

Indonesia yang dikelilingi oleh laut, menjadikannya rentan terhadap tsunami. Hampir di sepanjang pantai di Indonesia, dari Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, tidak luput dari potensi terjadinya fenomena alam yang satu ini.

Sejarah kejadian tsunami yang dihimpun sejak zaman Belanda hingga saat ini, menunjukkan adanya potensi tsunami berulang terjadi di masa yang akan datang.

Rekaman kejadian tsunami yang menceritakan tentang sumber pembangkit tsunami, kedahsyatan, dan dampak yang dihasilkannya di masa lampau, dihimpun dalam suatu katalog tsunami.

Karakteristik sumber tsunami dan daerah terdampak yang tercatat di dalam katalog tersebut, menjadi bahan yang bisa dipelajari dalam upaya mitigasi dan menjadi dasar dalam merencanakan pola ruang kehidupan saat ini dan masa yang akan datang.


Tsunami akibat gempa 

Sumber tsunami terbagi menjadi dua kelompok, yaitu tsunami akibat gempa Bumi, dan tsunami akibat selain gempa Bumi.

Tsunami akibat gempa Bumi, biasanya berasal dari zona subduksi (batas pertemuan lempeng), dikenal dengan gempa megathrust, namun beberapa tsunami akibat gempa Bumi, berasal dari sumber lain, di antaranya pensesaran naik busur belakang, seperti yang terdapat di utara Bali dan Nusa Tenggara (Flores 12 Desember 1992), dan pensesaran normal pada zona tensional, seperti di Selat Makassar.

Zona gempa Bumi yang berpotensi menimbulkan tsunami, antara lain:

1. Zona Subduksi Sunda (megathrust) di barat Sumatera,
2. Zona Subduksi Selatan Jawa,
3. Zona Subduksi Selatan Bali dan Nusa Tenggara,
4. Zona Subduksi Banda,
5. Zona Subduksi Laut Maluku,
6. Zona Subduksi Laut Sulawesi,
7. Zona Subduksi Utara Papua,
8. Zona Pensesaran Naik Busur Belakang di Laut Flores,
9. Zona Pensesaran di Selat Makassar.


Akibat gunung api

Potensi sumber pembangkit tsunami akibat aktivitas gunung api, bisa berasal dari erupsinya, jatuhan material yang dimuntahkannya, dan runtuhan sebagian tubuh gunung api (flank collapse).

Beberapa ahli seismologi dan ahli gunung api memberikan pendapat mengenai mekanisme letusan gunung api bawah laut yang memicu tsunami, sebagai berikut:

Yuichiro Tanioka (2023) menjelaskan letusan gunung api yang besar akan mendorong atmosfer di atasnya dengan cepat. Setelah itu, karena gaya gravitasi, atmosfer akan bergerak ke bawah. Hal ini menyebabkan gelombang gravitasi atmosfer merambat di sepanjang permukaan Bumi. Saat gelombang gravitasi atmosfer atau gelombang tekanan merambat di atas lautan, gelombang tersebut akan mendorong laut untuk menghasilkan tsunami. Modus fundamental dari gelombang atmosfer ini disebut gelombang wedus (Lamb wave). Ada juga mode gelombang lainnya dengan kecepatan yang berbeda dan menghasilkan tsunami.

Pendapat lainnya mengatakan bahwa ketika magma naik ke air laut secara perlahan, bahkan pada suhu sekitar 1.200℃, lapisan tipis uap terbentuk di antara magma dan air. Ini memberikan lapisan isolasi untuk memungkinkan permukaan luar magma menjadi dingin.

Saat magma masuk ke dalam air dengan cepat, setiap lapisan uap dengan cepat terganggu, membawa magma panas bersentuhan langsung dengan air dingin. Para ahli menyebut ini sebagai "interaksi bahan bakar-pendingin (Fuel Collant Interaction)".

Ledakan yang sangat keras merobek magma. Reaksi berantai dimulai dengan fragmen magma baru yang memaparkan permukaan interior panas segar ke air, dan ledakan berulang, akhirnya menyemburkan partikel vulkanik dan menyebabkan ledakan dengan kecepatan supersonik yang menghasilkan tsunami.

Tsunami dihasilkan oleh gelombang kejut atmosfer dan laut yang digabungkan selama ledakan dengan proses di atas.

Letusan yang terjadi terus-menerus akan menyebabkan ketidakseimbangan pada kantong atap dapur magma, sehingga akan mengakibatkan terjadinya keruntuhan tubuh gunung api.

Hal ini juga disebabkan karena terdapat perbedaan kepadatan antara tubuh yang baru dan tubuh yang lama.

Setelah keruntuhan, terjadi gangguan pada saluran permukaan yang mengakibatkan kontak langsung antara magma yang mengalami tekanan berlebih dan air laut, sehingga terjadi reaksi fuel collant, sehingga menghasilkan tsunami. (Oktori Prambada, 2023).

Tabel 1. Daftar Kejadian Tsunami Akibat Gunung Api di Indonesia (Katalog Tsunami, 2023)

Tahun latitude longitude nama gunung 

416 -6,10 105,45 Krakatau
1608 0,35 127,43 Makian
1673 1,37 127,52 Gamkonora
1673 0,80 127,30 Gamalama
1763 0,80 127,32 Gamalama
1771 0,80 127,30 Gamalama
1773 -3,68 116,16 Pulau Laut
1815 -8,20 118,00 Tambora
1840 0,80 127,30 Gamalama
1856 3,67 125,50 Awu
1856 3,67 125,50 Awu
1871 2,27 125,42 Ruang
1871 0,00 128,00 Gamalama
1871 2,28 125,42 Ruang
1871 2,30 125,37 Ruang
1883 -6,00 106,78 Krakatau
1883 -6,10 105,40 Krakatau
1889 3,14 125,49 Ruang
1892 3,67 125,50 Awu
1918 3,67 125,50 Banua Wuhu
1928 -6,10 105,43 Krakatau
1928 -8,60 125,70 Rokatenda
1930 -6,10 105,40 Krakatau
1973 -8,37 123,59 Hobal


Tsunami akibat longsoran

Berdasarkan sejarahnya, tsunami yang berasal dari longsoran material di darat, pernah terjadi di Pulau Lembata, disebabkan oleh aktivitas magmatisme yang menghasilkan mineral lempung dan mengakibatkan tanah menjadi rapuh dan mudah bergerak pada kemiringan lereng yang curam.

Longsoran bawah laut yang dipicu oleh gempa Bumi, pernah terjadi di selatan Seram, Buru, Selat Sunda, utara Pulau Timor, Aceh bagian barat, utara Pulau Ambon, utara Flores, Kepulauan Sangihe, dan utara Pulau Bali, terakhir di Palu dan Selat Sunda tahun 2018.

Longsoran yang terjadi di Pulau Seram, secara kronologi terjadi sebanyak tiga kali dan semuanya menimbulkan tsunami, yaitu tahun 1899, 2006 dan 2021.

Berdasarkan catatan katalog maupun hasil survei ke lapangan menunjukkan adanya kecenderungan bahwa longsoran tepi pantai di kawasan pantai selatan Seram meliputi daerah yang luas dan dapat menimbulkan bahaya bagi masyarakat yang berada di daerah tersebut.

Peristiwa amblesan tanah yang diikuti oleh longsoran tepi pantai dari ketiga peristiwa yang terjadi, baik tahun 1899, 2006 maupun 2021, dipicu oleh peristiwa gempa Bumi berkekuatan menengah hingga besar, dengan kedalaman gempa dangkal maupun dalam, dan kemungkinan bisa terjadi lagi di masa yang akan datang.

Tsunami yang terjadi pada tahun 1899 memiliki ketinggian gelombang 9 M hingga 15 M.

Tabel 2. Daftar Kejadian Tsunami Akibat Longsoran (Katalog Tsunami, 2023)

Tahun latitude longitude nama lokasi 
1815 -8,00 115,20 Bali
1841 -4,53 129,89 Neira
1851 -5,00 105,00 Teluk Betung 
1851 -5,45 105,27 Teluk Betung
1861 -3,59 128,16 Ambon
1862 -6,81 108,72 Cirebon
1883 -5,52 105,24 Cikawung 
1884 -6,10 105,40 Selat Sunda
1889 -6,11 105,88 Anyer
1892 3,67 125,50 Awu
1899 -3,26 128,78 Seram
1904 -3,57 128,69 Sirisori
1909 -2,00 101,00 Belinyu
1914 -3,56 128,00 Ambon
1917 -3,66 116,60 Sambergelap
1917 -3,58 128,65 Saparua
1919 -8,99 124,87 Atapupu
1929 4,64 95,57 Calang
1937 -3,00 132,00 Fakfak
1979 -8,41 123,56 Lembata 
1992 -8,50 121,84 Flores
2006 -5,45 128,07 Samasuru 
2006 -3,70 127,40 Buru
2018 -0,20 119,89 Palu
2018 -6,10 105,45 Aanak Krakatau 
2021 -3,39 129,56 Mahu, Tehoru


Retakan di danau

Gempa Bumi yang pernah menghasilkan retakan di danau dan mengakibatkan air meluap keluar terjadi pada tahun 1833, saat gempa Bumi membuat penghalang danau di Gunung Api Kaba pecah. Air di danau itu mengalir keluar, dan menggenangi serta menghancurkan tujuh desa.

Kejadian serupa terjadi pada tahun 1926 di Danau Singkarak. Saat itu gempa Bumi menyebabkan dinding selatan Danau Singkarak runtuh, menghasilkan gelombang dan naiknya permukaan air danau.

Adanya sumber pembangkit tsunami yang berasal bukan hanya dari gempa Bumi, diharapkan menjadi peringatan dini dan kewaspadaan dalam upaya mitigasi bencana tsunami, serta menjadi bahan bagi para pemangku kepentingan dalam menentukan kebijakan dan merencanakan tata ruang yang mengutamakan keselamatan masyarakat, khususnya di daerah rawan bencana.

Yudhicara*) adalah penyelidik Bumi ahli madya di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral.


 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023