Rote Ndao (ANTARA) - Bunyi lumpang besi sesekali terdengar ketika seorang wanita separuh baya bernama Antonia sibuk menghancurkan biji kopi dan potongan buah bakau yang sudah dipotong-potong untuk kemudian dicampur jadi satu.

Wanita lainnya sibuk menyaring sebagian biji kopi dan potongan buah bakau atau mangrove yang sudah halus, untuk dicampur dengan kopi bubuk arabika Flores.

“Beginilah proses pembuatan kopi mangrove,” kata Mama Novika Tupu, Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) Dale Esa Desa Daiama, Kecamatan Landu Leko, Kabupaten Rote Ndao.

Kopi bakau sebenarnya sudah diolah oleh mama-mama di desa pesisir tersebut sejak tahun 2022, namun tidak bisa dijual keluar dari daerah tersebut.

Pokmas yang beranggotakan 15 orang itu lebih banyak memproduksi untuk kebutuhan rumah tangga saja, saat ada acara-acara tertentu, atau ada permintaan dari pihak luar.

Pembuatan kopi mangrove sendiri tidaklah sulit. Pertama-tama mama-mama memetik buah bakau itu yang ada di pesisir pantai. Lalu mulai membersihkan dan mengirisnya hingga tipis.

Usai diiris dengan ukuran kecil, buah bakau itu kemudian dicuci kemudian dijemur di bawah terik sinar Matahari hingga benar-benar mengering dan keras.

Setelah benar-benar kering, dipotonglah buah bakau itu kemudian dihancurkan hingga benar-benar halus menggunakan lempung besi. Usai dihaluskan lalu dicampur dengan kopi arabika Flores.

Mama Novika kemudian bergegas ke dapur usai mengambil bubuk kopi dan bubuk buah bakau  yang sudah dimasukkan ke dalam gelas.

Setibanya di dapur, wanita berusia 40 tahun tersebut dengan hati-hati mengambil air yang baru dimasaknya dan sudah matang-mendidih itu lalu dituangkan ke dalam lima gelas yang sudah disiapkan.

Di sampingnya sudah menunggu Chris Alexander, pria berkebangsaan Inggris, yang tampaknya sudah tak sabar ingin menyeruput kopi bakau buatan mama-mama pokmas  tersebut.

Chris, kepada Mama Novika, minta sajian kopi yang disajikan tersebut tanpa ditambah gula.

Chris hadir di desa tersebut bersama dengan tim The Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2), yang selama ini membina dan membimbing nelayan serta petani rumput laut di wilayah pesisir Rote Ndao.

Tak hanya Chris, ada wartawan Tempo bernama Jhon Seoz, yang terlihat antusias ingin menyeruput kopi tersebut. Ia dengan sabar menunggu di dapur tempat mama Novika menyeduh kopi.

Berbeda dengan Chris, Jhon justru lebih suka seduhan kopi itu dicampur dengan gula karena tak menyukai rasa pahit.

Chris pun lalu menyeruput seduhan kopi panas yang masih menguarkan uap saking tak sabar ingin mencoba kopi itu. Sesekali dia mencoba meniupnya agar cepat dingin kemudia langsung menyeruputnya.

“Saya memang penikmat kopi, jadi penasaran seperti apa rasanya kopi dicampur dengan mangrove. Ternyata enak juga, dengan rasa asamnya sedikit saja,” katanya.

Kopi arabika ketika diseduh bersama air panas terasa asam apalagi tanpa gula. Namun setelah dicampur dengan buah bakau, rasa asamnya tinggal terasa 80-85 persen.

Pengetahuan mereka untuk menjadikan buah mangrove sebagai bahan tambahan untuk kopi tidak datang begitu saja. Sebelumnya masyarakat pesisir pantai tersebut tidak mengetahui bahwa buah bakau bisa dijadikan sebagai bahan makanan atau minuman.

Bagi masyarakat pesisir seperti di Desa Daiama, mereka hanya mengetahui bahwa pekerjaan yang menghasilkan keuntungan bagi mereka adalah menangkap ikan, membudidayakan rumput laut, dan membudidayakan lobster.

Namun, pada tahun 2021, saat program ATSEA-2 dengan didanai Global Environment Facility (GEF) dan diimplementasi oleh United Nations Development Programme (UNDP) bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),  memberikan pencerahan kepada warga di desa tersebut terkait manfaat dari buah mangrove tersebut.

Program fase dua sudah berjalan sejak tahun 2019 mencakup empat negara; Australia, Indonesia, Papua Nugini, dan Timor-Leste. Di Indonesia, program itu fokus di tiga wilayah kerja, yaitu Kepulauan Aru di Maluku, Merauke di Papua Selatan, dan Rote Ndao di NTT.

Di Rote Ndao, program itu fokus pada pelatihan kepada masyarakat pesisir untuk mengelola hasil laut untuk meningkatkan ekonomi rakyat. Dengan demikian, masyarakat pesisir tidak hanya fokus pada tangkapan ikan, tetapi bisa memanfaatkan potensi lain yang ada di pesisir pantai sebagai salah sumber penghidupan.
Warga menunjukkan buah mangrove jenis Pedada (Sonneratia Caseolaris) yang sudah dipotong-potong dan dikeringkan untuk diolah dan dicampur dengan kopi agar bisa dijual dalam program The Arafura and Timor Seas Ecosystem Action (ATSEA) II di desa Daiama, Kecamatan Landu Tii, Kabupaten Rote Ndao, NTT, Senin (19/6/2023). .ANTARA FOTO/Kornelis Kaha.

Warga setempat diberi pengetahuan soal manfaat dari magrove, yang bukan hanya sebagai pelindung wilayah pesisir dari abrasi, tetapi juga produk yang dihasilkan oleh pohon bakau untuk bahan makanan dan minuman.

Mereka juga diajarkan bagaimana mengolah dua jenis mangrove yang dapat digunakan untuk minuman yang dinilai memiliki khasiat tersendiri bagi tubuh.

Jenis bakau yang pertama adalah mangrove pedada (Sonneratia caseolaris) yang diolah untuk kemudian dicampur dengan kopi, sementara jenis kedua adalah mangrove rhizophora yang diolah untuk dijadikan sirup.

Mama Novika yang menjadi ketua pokmas itu sejak tahun 2021 dan beranggotakan 15 mama-mama tersebut punya mimpi, agar apa yang sudah dibuat bisa dipasarkan luas, apalagi jika mereka mempunyai kemasan tersendiri.

untuk memasarkan produk yang sudah diolah tersebut masih perlu izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).  Saat ini wilayah  penyebarannya sebatas di daerah itu.

Akan tetapi, kalau ada acara-acara pemerintahan racikan kopi buah mangrove itu juga dihadirkan sekaligus untuk promosi, agar bisa dikenal orang banyak, khususnya tamu dari luar Rote Ndao.


Pengetahuan baru

Pemerintah Kabupaten Rote Ndao, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), menilai program pembuatan racikan kopi mangrove di Kabupaten Rote memberikan pengetahuan baru dan peningkatan ekonomi masyarakat kabupaten tersebut.

Kepala DKP Rote Ndao Jusup Mesakh mengatakan jika perlu program itu dilanjutkan setidaknya 3 sampai 4 tahun mendatang karena memang bermanfaat bagi masyarakat.

Koordinator Program organisasi itu tingkat Kabupaten Rote Ndao Mikael Leuape menjelaskan pihaknya melaksanakan serangkaian rencana pengelolaan pesisir terpadu (PPT), terdiri atas adaptasi berbasis ekosistem, intervensi mata pencaharian alternatif, dan proyek peningkatan kapasitas.

Selain itu, program menyediakan pelatihan dan memfasilitasi pertukaran regional dalam merespons tumpahan minyak dan kesiapan manajemen bencana untuk pihak berwenang lokal terpilih dan perwakilan masyarakat untuk mengatasi polusi di wilayah tersebut.

Program fase pertama dilakukan pada tahun 2015 lalu tetapi lokasinya bukan di Rote Ndao.

Sementara pada program fase 2 disepakati dimulai pada tahun 2019, namun ketika hendak dimulai ada pandemi COVID-19 sehingga ditunda tetapi koordinasi tetap dijalankan. Pada tahun 2021 program itu mulai berjalan dengan membimbing masyarakat pesisir di tiga kecamatan pada empat desa.

Empat desa pesisir itu adalah Daiama di Kecamatan Landu Leko, Desa Oeseli dan Desa Landu Tii di Kecamatan Rote Barat Daya, kemudian di Desa Bo’a, Kecamatan Rote Barat.

Fokus program tersebut adalah pembinaan masyarakat di pesisir mengantisipasi terjadinya perubahan iklim.

Masyarakat pesisir dibina untuk tidak hanya menjadi nelayan atau petani rumput laut tetapi bisa juga menggarap pekerjaan lain yang dapat meningkatkan penghasilan.



Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023