Kupang (ANTARA) - Dua anggota Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Tasi Bo’a di Desa Bo'a, Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sibuk memarut kelapa menggunakan mesin listrik.

Tangan-tangannya begitu mahir ketika memasukkan kelapa dan menekannya agar terparut merata. Satu demi satu buah kelapa yang sudah dipotong-potong perlahan-lahan habis diparut.

Hasil parutan kemudian dimasukkan ke dalam baskom, lalu direndam dengan air sekira 400-500 mililiter. Usai terendam air, lalu dipindahkan ke dalam tempat, lalu diperas secara manual menggunakan alat tradisional untuk menghasilkan santan dan sisa airnya dibuang.

“Begini awal mula proses pembuatan minyak urut dari kelapa dan minyak kelapa murni yang dinamakan nometo (kelapa kering),” kata Ketua Pokmaswas Tasi Bo’a Retno Yohanis Bait di Bo’a, Kamis (22/6), ketika mulai bercerita.

Santan yang sudah jadi dipindahkan ke wadah yang masih baru dan didiamkan selama empat jam untuk memisahkan air dan santan. Tidak hanya itu, prosesnya masih butuh waktu yang lama.

Hal ini karena setelah santan dan air dipisahkan, ada proses selanjutnya, yaitu memisahkan antara minyak kelapa dan ampas kelapa, lalu disaring selama sembilan kali untuk hasil yang bagus dan berkualitas.

Pria kelahiran Bo’a 1989 tersebut mengaku telah memproduksi minyak urut dan minyak kelapa murni itu sejak tahun 2009, usai meledaknya kilang minyak Montara pada Agustus 2009.

Tumpahan minyak di Laut Timor tersebut membuat mata pencarian para nelayan, termasuk Yohanis, hilang, khususnya produksi rumput laut di desa tersebut rusak.

Namun, minyak kelapa murni dan minyak urut yang dihasilkan tidak dia jual, karena masih belum paham kemana harus menjualnya, walaupun pada tahun tersebut Desa Bo’a dan Nemberala sudah dikenal banyak wisatawan dan sudah banyak dikunjungi.

Sehingga pria lulusan SMEA Negeri Kupang 2008 itu selama kurang lebih 12 tahun hanya memproduksi untuk digunakan di dalam rumah dan membagikan kepada keluarganya.

Tetapi pada tahun 2021, melalui program The Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2) yang didanai Global Environment Facility (GEF) dan diimplementasi oleh United Nations Development Programme (UNDP) bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga memberikan pelatihan kepada Pokmaswas tersebut.

Dari situlah Yohanis dan anggotanya mendapatkan pelajaran dan masukan tentang bagaimana mempromosikan dan menjual hasil olahan kelapa yang sudah hampir 12 tahun dia kelola.

Seiring berjalannya waktu, produk yang diproduksinya dan berkat program ATSEA-2 minyak kelapa murni dan minyak urut tersebut semakin dikenal luas, bahkan laku juga sampai ke luar Kabupaten Rote Ndao.

Untuk di Desa Bo’a saja baru satu hotel atau penginapan yang rutin memesan minyak urutnya, karena permintaan tamu-tamu hotel tersebut, khususnya wisatawan mancanegara sangat menyukai produknya untuk pijat.

Karena sudah ada pasaran, kualitas dari produk yang dibuatnya juga perlu diperhatikan. Karena itu, kelapa yang digunakan harus yang kering sendiri di pohon dan usianya harus dua bulan, untuk mendapatkan kualitas yang bagus.

Selain itu juga, dia pernah mengirim 35 botol ukuran 65 mililiter untuk Dekranasda NTT setelah diminta oleh Ketua Dekranasda NTT. Tak hanya itu permintaan juga datang dari Sulawesi.

Pembeli dari Sulawesi itu datang dan mengambil langsung ke Desa Bo'a. Paling banyak pesanan adalah minyak urut

Dari penjualan selama ini, kini setiap bulan pokmaswas tersebut mampu menghasilkan laba bersih sebesar Rp2,2 juta per bulan.

Untuk keuntungannya sendiri dibagi secara merata, kepada seluruh anggota pokmaswas, dimana pembagiannya sesuai dengan usaha dari anggota pokmaswas tersebut.


Harga terjangkau

Yohanis mencoba menunjukkan hasil produksinya, yakni tiga botol minyak kelapa murni atau VCO ukuran 200 mililiter yang dipajang saat tim dari ATSEA-2 mengunjungi rumahnya.

Tak hanya itu, ada pula kurang lebih 10 botol ukuran 65 mililiter minyak urut dengan aroma cendana dan papermint dipajang di mejanya.

Untuk mendapatkan tiga botol minyak kelapa murni, dirinya membutuhkan tiga buah kelapa ada di halaman rumahnya. Kelapa yang digunakan juga adalah kelapa yang benar-benar kering, sehingga hasil dan kualitasnya juga bagus.

Seorang warga asal Inggris Chris Alexander yang datang ke Desa Bo'a mengaku penasaran ingin mencoba minyak tersebut. Dia memilih minyak beraroma cendana dan papermint yang dipajang di meja rumah Yohanis. Di tempat itu juga ada beberapa aroma lain, seperti lavender dan yelang-yelang.

Hal yang menarik dari pokmaswas tersebut, empat anggotanya adalah pelajar di SMA Negeri I Kecamatan Rote Barat dan SMK Negeri I Rote Barat. Guru-guru di dua sekolah itu memberikan kelonggaran kepada empat siswi tersebut untuk menjadi anggota pokmaswas sebagai mata pelajaran tambahan atau ekstrakurikuler.

Karena itu, siswa kelas 11 SMK Rilda Feoh menjual prosuk ke guru-guru, sehingga bisa menambah uang saku untuk membeli buku dan kebutuhan sekolah lainnya, tanpa harus membebani orang tua.

Agar tidak menggangu proses belajar mereka di sekolah, empat siswa itu hanya bisa berkumpul di Pokmaswas Tasi Bo’a saat pulang sekolah. Rilda banyak belajar dari pokmaswas tersebut, dan harapannya kedepan bisa berkembang dengan baik.


Dukungan pemda

Keberadaan kelompok masyarakat Tasi Bo’a yang sudah berjalan dengan baik itu mendapatkan respons positif dari Pemerintah Kabupaten Rote Ndao.

Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rote Ndao Johni Manafe mengaku pemda setempat sudah menjalin kerja sama baik dengan Bank NTT dan Dekranasda untuk membantu memasarkan dan membeli produk yang dihasilkan oleh kelompok tersebut.

Hanya saja, jumlah produksi kelompok tersebut memang belum terlalu banyak sehingga masih perlu pembinaan di masa-masa mendatang.

Program fase dua dari ATSEA-2 yang sudah berjalan sejak 2019 itu mencakup empat negara; Australia, Indonesia, Papua New Guinea, dan Timor-Leste. Di Indonesia, ATSEA-2 berfokus di tiga wilayah kerja, yaitu Kepulauan Aru di Maluku, Merauke di Papua Selatan, dan Rote Ndao di NTT.

Di Rote Ndao sendiri, ATSEA-2 berfokus pada pelatihan kepada masyarakat pesisir untuk mengelola hasil laut sebagai pendorong peningkatan ekonomi, sehingga masyarakat pesisir tidak hanya fokus pada tangkapan ikan, tetapi bisa memanfaatkan potensi lain yang ada di pesisir pantai, sebagai salah sumber penghidupan.

Di Rote Ndao juga ATSEA-2 masih fokus pada empat desa pesisir, yakni Bo’a, Oeseli, Landu dan Daiama. Program tersebut akan berakhir pada akhir 2023.

Walaupun demikian empat desa itu sudah merasakan manfaat, tiga di antaranya adalah di Desa Bo’a untuk pengolahan minyak kelapa, di Desa Oeseli pengolahan sabun mandi dari hasil laut dan di Desa Daiama pengolahan kopi mangrove.


 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023