pola hidup hedonisme kini justru menjangkiti negara berkembang dan miskin
JAKARTA (ANTARA) - Frugal living, gaya hidup hemat yang sejatinya telah dicontohkan oleh nenek moyang kita sejak zaman dahulu kala. Kini sedang marak diperbincangkan dan memang relevan untuk digaungkan kembali menyusul isu resesi ekonomi yang mengintai. Meski begitu jangan juga diterapkan secara ekstrem agar tak sampai menyiksa diri atau seolah menafikan eksistensi Tuhan yang Maha Penolong.

Presiden Joko Widodo pada banyak kesempatan memberikan peringatan akan ancaman resesi ekonomi global seraya berharap tidak berdampak ke dalam negeri. Kepala Negara juga senantiasa menekankan pentingnya efisiensi dalam pembelanjaan anggaran negara. Alih-alih efisiensi, sejumlah kepala daerah malah melakukan korupsi atas beragam proyek pembangunan.

Pada bagian lain, Presiden menyebarkan pesan-pesan penghematan kepada para aparatur pemerintahan dengan tidak menggelar acara yang menghambur-hamburkan anggaran.

Pada skala negara, upaya penghematan anggaran wajib dilakukan demi mencegah terimbas resesi global, mengurangi potensi utang negara, dan untuk mencapai kemandirian ekonomi. Begitu pula pada kehidupan sosial masyarakat, baik individu atau keluarga tentu perlu menerapkan gaya hidup hemat demi keberlangsungan dan kemerdekaan finansial pada masa nanti.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), merdeka secara finansial (financially freedom) bukan berarti memiliki banyak uang. Makna merdeka finansial lebih dari sekadar banyak uang. Kemerdekaan finansial diperoleh jika seseorang dapat hidup dengan pantas, secukupnya, dan bebas utang.

 

Hidup bersahaja

Nenek moyang kita telah mencontohkan sebuah gaya hidup bersahaja, mereka hidup dengan berburu atau bertani, sangat sedikit orang di zaman itu yang menimbun harta benda dan bergaya hidup mewah.

Pada masa sekarang, konsep frugal living masih setia dianut masyarakat di sejumlah daerah. Seperti dicontohkan pakar ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, Imam Prayogo.

“Nenek moyang kita mengajarkan frugal living dan masih dapat dijumpai di beberapa daerah. Sebut saja, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan masih banyak daerah lainnya,” kata Igo, begitu ia disapa.

Masyarakat di daerah tersebut memiliki pola hidup sederhana. Terlihat dari rumah sederhana, pekerjaan di ladang (sawah), berdagang, dan lainnya yang tidak mengejar pangkat atau jabatan.

“Kehidupan sosial masih kental bersahaja. Beda hal dengan masyarakat perkotaan. Yang mengedepankan penampilan dan (bergaya)  sosialita,” ujar dia.

Hal ini menjadi pasar empuk para pebisnis atau bankir. Maraknya pinjaman online yang mudah cair pun menjadi rebutan sebagian generasi muda perkotaan. Maka tak ayal potensi resesi dapat terjadi di negeri ini.

Igo melihat di negara-negara maju, frugal living merupakan bagian dari strategi hidup.

“Hedonisme hanya bersifat semu dalam jangka panjang kehidupan. Maka, masyarakat Barat (negara negara maju) telah sadar dan perlahan meninggalkan pola hidup hedonisme,” papar ahli manajemen risiko itu.

Igo yang merupakan mahasiswa Program Doktor pada Fakultas Ekonomi Undip itu menyayangkan bahwa pola hidup hedonisme kini justru menjangkiti negara berkembang dan miskin

Sebagian Generasi Z sekarang ini, misalnya, malu terlihat miskin. Banyak kasus terungkap di media online. Seperti halnya, siswa saat acara wisuda malu dihadiri ayahnya yang hanya naik sepeda motor dan sebagai buruh tani. Penipuan-penipuan online yang dilakukan oleh Generasi Z yang mana kerugiannya terhitung fantastis, ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Dalam konteks ini, Igo memberi contoh berita yang viral beberapa waktu lalu, ABG kembar usia di bawah 25 tahun, dari keluarga kalangan bawah. Mereka menipu sampai puluhan miliar rupiah demi bisa bergaya hidup hedonistik dan belanja foya-foya ke luar negeri.

Sementara di Afrika, ada budaya La Sape, istilah untuk kaum muda yang rela hidup dengan fashion branded namun kesulitan untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Jhon White, profesor Filsafat Pendidikan, di Institut Pendidikan UCL London, dalam tulisannya The Frugal Life, and Why We Should Educate for It menjelaskan bahwa frugal living harus diadopsi oleh generasi masa depan. Tidak hanya negara miskin atau berkembang, bagi negara kaya pun konsep frugal living sudah harus diadopsi sebaik-baiknya.

Jumlah penduduk dunia yang terus meningkat, sumber daya yang semakin terbatas mau tidak mau membuat manusia harus mengadopsi gaya hidup yang hemat, tidak menghambur-hamburkan sumber daya dengan percuma.

Menurutnya, konsep frugal living secara langsung dapat berhubungan dengan upaya-upaya menyelamatkan bumi.

 

Hemat vs hedonistik

Frugal living, yang sedang dikampanyekan akhir-akhir ini seolah sebagai aksi perlawanan dan penolakan terhadap gaya hidup hedonistik. Banyak figur publik atau pejabat pemerintah yang dia serta anggota keluarganya mengumbar gaya hidup hedonistik di media sosial, akhirnya merana karena diciduk KPK.

Pemerintah pun menyebarkan imbauan agar frugal living dapat dianut menjadi gaya hidup aparatur sipil negara (ASN) mengingat biaya hidup dan berbagai fasilitas yang mereka gunakan berasal dari anggaran negara. Faktanya, sebagian besar aparat pemerintah yang terjerumus kasus korupsi terjadi akibat terjerat hedonisme.

Sementara para orang kaya di berbagai belahan negara, malah memilih gaya hidup sederhana dan menghabiskan sebagian besar hartanya untuk berderma. Sebutlah pendiri Alibaba Jack Ma, salah seorang pendiri raksasa perangkat lunak Microsoft Bill Gates, kemudian Warren Buffett yang merupakan CEO Berkshire Hathaway, dan pendiri situs jejaring sosial Facebook Mark Zuckerberg, serta salah satu orang terkaya di Indonesia yang merupakan bos Djarum Michael Bambang Hartono.

Gaya sederhana orang-orang kaya itu tak pelak mengundang decak kagum. Seperti Bambang Hartono, pernah viral karena kepergok makan tahu pong di warung sederhana di Semarang, dengan mengenakan kaus biasa. Jack Ma hingga kini masih sering makan mi instan ketimbang makan di restoran mewah. Tak jauh beda dengan Bill Gates yang suka makanan cepat saji, suatu ketika dia keciduk tengah mengantre sendiri untuk membeli burger di Seattle. Warren Buffett juga penyuka burger, dia hanya menggunakan mobil Cadillac XTS pada 2014 untuk mobilitasnya. Begitu pun Mark Zuckerberg yang tak malu mengendarai mobil murah. Koleksi mobilnya amat merakyat, ada Acura TSX dan Honda Fit serta Volkswagen Golf GTI, yang bila digabung harga ketiganya tak sampai satu miliar rupiah.

Orang-orang berharta ratusan triliun rupiah itu justru tidak pernah menampilkan kehidupan foya-foya. Prinsip hidup dan pandangan bahwa uang bukanlah segalanya, itulah yang mendasari para konglomerat dunia tersebut lebih suka bergaya sederhana. Memang, orang yang benar-benar kaya tidak membutuhkan lagi “pengakuan”, berbeda halnya dengan orang yang ingin tampak (dianggap) kaya. Maka, jangan malu terlihat miskin tapi malulah ketika pura-pura kaya.

 

Hemat secara moderat

Meski frugal living baik diadaptasi dalam kehidupan sehari-hari, janganlah sampai menyiksa diri karena terlalu hemat bisa menjurus pada pelit termasuk pelit pada diri sendiri. Walau sebenarnya hemat dan pelit merupakan dua sifat yang berbeda.

Hemat berarti memiliki kontrol penuh atas keluar masuk keuangan, hanya membeli sesuatu yang dibutuhkan dan menghindari pengeluaran yang tidak perlu. Hemat berfokus pada nilai, berusaha mendapatkan nilai terbaik untuk harganya. Adapun pelit berusaha mempertahankan uang (aset) yang dimiliki agar (kalau bisa) tidak keluar dan berkurang.

Saat berbelanja, orang hemat akan memilih barang berkualitas biarpun harga sedikit lebih mahal, agar barang tersebut dapat digunakan untuk jangka lama atau awet. Sementara orang pelit, ketika memilih barang yang jadi pertimbangan hanyalah harga yang murah agar ia mengeluarkan sedikit uang.

Dalam menerapkan frugal living terdapat tujuh panduan umum, namun tidak perlu diikuti sepenuhnya hingga mengganggu kenyamanan dan merasa diri terlalu terkekang. Dan berikut beberapa di antara panduan itu yang disertai saran jalan tengahnya.

1. Buat perencanaan keuangan. Biasanya dilakukan dengan mencatat secara rinci pengeluaran bulanan lalu menyusun perencanaan berdasarkan penghasilan tetap yang didapat, kemudian menaati perencanaan itu dalam membelanjakan uang agar tidak sampai mengalami defisit.

Namun tidak semua orang memiliki keahlian dalam perencanaan apalagi dengan mencatat dengan rinci dan detail setiap pengeluaran, mungkin bagi sebagian orang cara itu cukup menyiksa. Maka buat saja perencanaan secara garis besar, dengan mengalokasikan anggaran untuk pos-pos yang diperlukan. Semisal dana untuk kebutuhan operasional sehari-hari, investasi, cicilan produktif, rekreasi, dana sosial dan anggaran darurat.

2. Membeli dan menjual barang bekas. Orang biasanya membeli barang berdasarkan kegunaan dan keuntungannya sehingga tidak masalah untuk membeli barang second selama kualitasnya masih bagus dan bisa dipakai dalam waktu yang lama. Sementara barang-barang bekas di rumah yang tidak terpakai lagi bisa dijual, selain menghemat tempat juga menghasilkan uang.

Berhemat dengan cara membeli barang bekas belum tentu menguntungkan karena barang bekas pakai orang pasti sudah mengalami penyusutan. Begitu juga dengan menjual barang bekas, biasanya harganya tak seberapa, maka lebih baik diberikan kepada orang yang membutuhkan sehingga bermanfaat dan menjadi sedekah.

3. Buat daftar menu makanan. Tak bisa dimungkiri bahwa makanan merupakan salah satu pos pengeluaran rutin terbesar. Ketika menyusun perencanaan keuangan, bisa sekaligus membuat daftar menu sebulan sebagai gambaran belanja bahan makanan yang diperlukan.

Baik juga membuat daftar menu makanan sebagai bagian dari perencanaan pengeluaran. Namun kelemahannya, selera makan orang bisa saja berubah dan tak bisa dipaksakan harus makan sesuai jadwal yang ada di menu. Padahal salah satu tujuan orang bekerja mencari uang adalah untuk menyenangkan diri, jadi tidak perlu terlalu membatasi. Masak dan makanlah sesuai selera, sepanjang tidak berlebihan dan melampaui budget yang dianggarkan.

 

Tenang, ada Tuhan

Menerapkan gaya hidup hemat bisa karena dua alasan, terpaksa oleh keadaan atau memang atas kesadaran untuk mencapai tujuan finansial tertentu, semisal agar dapat pensiun dini dan menikmati slow living, serta mencapai kemerdekaan dan kebebasan finansial pada masa mendatang.

Apapun tujuan baiknya, menjalani frugal living janganlah terlalu ekstrem. Hidup kelewat hemat, tidak saja menyiksa diri tapi juga terkesan terlalu mengkhawatirkan masa depan yang berarti meragukan kemampuan Tuhan.

Berhemat hanyalah salah satu cara berikhtiar, selebihnya ada Tuhan yang menjamin kehidupan setiap makhluk yang Dia ciptakan. Jadi, tenang saja!


 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023