Jakarta (ANTARA) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pembangunan infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bisa meningkatkan inklusivitas transformasi digital, sehingga perlu menjadi fokus pemerintah.

Pasalnya, masih kurangnya infrastruktur merupakan tantangan terbesar dalam penggunaan TIK di Indonesia. Adapun masih banyak daerah yang belum memiliki akses kepada infrastruktur dasar seperti listrik dan internet.

"Peta jalan dan regulasi yang sudah ada sebaiknya dioptimalkan dengan merespons berbagai dinamika dan potensi permasalahan yang mungkin saja terjadi seiring transformasi digital,” ungkap Media Relations Manager CIPS Vera Ismainy dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Senin.

Ia menyebutkan transformasi digital terus didorong untuk bisa diadopsi oleh semua sektor, dimana transformasi ini diharapkan bersifat inklusif dan mendatangkan manfaat untuk semua orang.

Peningkatan layanan berbasis digital serta berbagai inovasi, seperti e-government, e-commerce, e-learning, ataupun teknologi finansial/financial technology (tekfin/fintech), menawarkan berbagai kemudahan kepada masyarakat dan pelaku usaha dalam meningkatkan produktivitas, mengakses informasi dan pengetahuan, serta memperluas pangsa pasar dan mendapatkan akses kredit.

Namun dalam praktiknya, Vera menuturkan masih terlihat adanya repetisi dari isu struktural di Indonesia, yaitu pemerataan pembangunan. Dengan begitu, perlu upaya untuk mempersempit jurang digital yang ada dengan menarik investasi guna membangun infrastruktur yang dapat mengakomodir perspektif negara kepulauan.

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet di tahun 2022 baru mencapai 77,02 persen, dengan tingkat keterampilan penggunaan yang secara rata-rata masih rendah.

Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan menghadirkan tantangan dan peluang bisnis tersendiri dalam konteks pembangunan infrastruktur digital. Dalam pengaturan ini, kabel bawah laut (undersea cable) merupakan sarana utama untuk meningkatkan komunikasi dan akses internet antar pulau.

Akan tetapi, kata Vera, perlu diingat bahwa jaringan komunikasi kabel bawah laut sangat padat modal (capital intensive), tidak hanya ketika fase penanaman dan penempatan, tetapi juga pada fase operasi.

Belanja modal (capital expenditure/capex) dan biaya operasional (operational expenditure/opex) yang cenderung menjadi tolak ukur investor sering kali menjadi lebih besar, terutama dengan tumpang tindihnya berbagai peraturan dan kewenangan.

Dia menambahkan, sebuah tantangan berat lainnya yakni masih rendahnya tingkat literasi digital masyarakat, yang menyulitkan penggunaan teknologi digital secara efektif. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pada literasi digital, inklusi digital, sertainklusi keuangan dalam pemanfaatan berbagai inovasi produk dan layanan hanya bisa terealisasi apabila kondisi infrastruktur digital telah memadai.

Infrastruktur digital juga harus dimanfaatkan secara optimal dengan tata kelola yang berlandaskan pada asas berkelanjutan dan pemerataan pembangunan.

Baca juga: Kemenkeu fokus investasi TIK dan perbaikan fasilitas daerah pada 2024
Baca juga: CIPS: OJK perlu tingkatkan pengawasan guna kurangi fintech gagal bayar
Baca juga: CIPS: Perkembangan ekonomi digital RI perlu dukungan kerjasama kawasan

 

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023