Jenewa (ANTARA) - Setelah rebound kuat pada 2021, investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) global turun 12 persen pada 2022 menjadi 1,3 triliun dolar AS (1 dolar AS = Rp15.076), demikian disampaikan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) pada Rabu (5/7).

Menurut UNCTAD dalam Laporan Investasi Dunia (World Investment Report) 2023 mereka, krisis global yang tumpang tindih, seperti konflik militer antara Rusia dan Ukraina, harga pangan dan energi yang tinggi, serta utang publik yang melonjak, menjadi penyebab utama penurunan tersebut.

Penurunan paling terasa di negara-negara maju, dengan FDI turun 37 persen menjadi 378 miliar dolar AS. Sebagai catatan positif, pengumuman proyek investasi greenfield (investasi dengan membangun fasilitas produksi baru) naik 15 persen pada 2022, tumbuh di sebagian besar wilayah dan sektor.

Industri-industri yang sedang bergulat dengan tantangan rantai pasokan, termasuk industri elektronik, semikonduktor, otomotif, dan permesinan, mengalami lonjakan proyek. Sedangkan investasi di sektor ekonomi digital melambat.

Laporan itu mengungkapkan defisit investasi tahunan yang melebar yang dihadapi negara-negara berkembang saat mereka berupaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2030. Kesenjangannya kini mencapai sekitar 4 triliun dolar AS per tahun, naik dari 2,5 triliun dolar AS pada 2015, ketika SDGs diadopsi.
 
   Sejumlah pekerja melakukan perakitan kendaraan baru di sebuah pabrikan mobil. Sebuah laporan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) pada Rabu (5/7) menyebutkan industri-industri yang sedang bergulat dengan tantangan rantai pasokan, termasuk industri elektronik, semikonduktor, otomotif, dan permesinan, mengalami lonjakan proyek. (Xinhua)

Investasi internasional untuk pembangkit energi terbarukan, termasuk tenaga surya dan angin, tumbuh sebesar 8 persen, lebih lambat dari pertumbuhan 50 persen yang tercatat pada 2021. Tapi proyek-proyek yang diumumkan dalam sektor manufaktur baterai meningkat tiga kali lipat menjadi lebih dari 100 miliar dolar AS pada 2022, imbuh laporan itu.   

Laporan itu menunjukkan bahwa lebih dari 30 negara berkembang masih belum mendaftarkan proyek investasi internasional besar dalam energi terbarukan. Meskipun sebagian besar negara berkembang telah menetapkan target untuk beralih ke sumber energi berkelanjutan, hanya sepertiga dari mereka yang mengubah target tersebut menjadi informasi untuk persyaratan investasi.

Meskipun investasi energi terbarukan meningkat hampir tiga kali lipat sejak diadopsinya Perjanjian Paris pada 2015, sebagian besar dana mengalir ke negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang yang membutuhkan sekitar 1,7 triliun dolar AS setiap tahun dalam investasi energi terbarukan, termasuk untuk jaringan listrik, jalur transmisi, dan penyimpanan, hanya dapat menarik investasi sekitar 544 miliar dolar AS pada 2022, papar laporan tersebut.
 
   Seorang pekerja memeriksa panel-panel surya untuk pembangkit listrik tenaga surya. Meskipun sebagian besar negara berkembang telah menetapkan target untuk beralih ke sumber energi berkelanjutan, menurut laporan UNCTAD, hanya sepertiga dari mereka yang mengubah target tersebut menjadi informasi untuk persyaratan investasi. (Xinhua)

Laporan itu menyerukan dukungan mendesak kepada negara-negara berkembang agar mereka dapat menarik lebih banyak investasi secara signifikan bagi transisi mereka ke energi bersih.

UNCTAD mengusulkan penetapan tindakan-tindakan prioritas, mulai dari mekanisme pembiayaan hingga kebijakan investasi, untuk memastikan energi berkelanjutan bagi semua pihak.

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2023