New York (ANTARA) - Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) pada Selasa (4/7) menyatakan bahwa rencana Jepang untuk membuang air limbah radioaktif pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima yang telah diolah ke Samudra Pasifik sudah sesuai dengan standar keamanan internasional.

Namun, kekhawatiran akan radiasi masih tetap ada.

Laporan akhir dari otoritas nuklir itu menyimpulkan bahwa air limbah yang telah diolah tersebut akan "memiliki dampak radiologis yang dapat diabaikan terhadap manusia dan lingkungan" setelah dibuang ke laut.

"Rencana Jepang itu memicu kontroversi baik di dalam maupun luar negeri, di saat sejumlah pejabat pemerintah di China dan banyak penduduk di Korea Selatan memprotes rencana tersebut karena dianggap tidak aman," tulis surat kabar The New York Times (NYT).

Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi mengatakan bahwa jika Jepang melanjutkan rencana pembuangan tersebut, IAEA juga akan membuka sebuah stasiun di Fukushima untuk terus meninjau keamanan air itu "selama beberapa dekade ke depan."

Tepco, perusahaan listrik yang mengoperasikan PLTN Fukushima dan kini sedang mengawal penonaktifannya, mengeklaim bahwa pengolahan air limbah tersebut telah menjadikannya aman untuk dibuang ke laut.

Namun, "para kritikus menilai pemerintah Jepang dan Tepco tidak cukup transparan tentang proses pengolahan maupun rencana pembuangan limbah tersebut," imbuh laporan NYT.

Duta Besar China untuk Jepang Wu Jianghao mengatakan dalam sebuah konferensi pers pada Selasa bahwa "Jepang harus menghentikan rencana pembuangan air limbah tersebut ke laut, dan secara serius berkonsultasi dengan komunitas internasional serta mempertimbangkan respons yang ilmiah, aman, transparan dan meyakinkan."

Sejauh ini, Jepang telah membuat keputusan tanpa "konsultasi yang memadai," kata duta besar itu.

Opini bahkan terbelah di publik Jepang. Dalam sebuah jajak pendapat yang dirilis oleh JNN, sebuah jaringan televisi Jepang, 45 persen responden mendukung rencana pembuangan air limbah tersebut, sedangkan 40 persen lainnya menentang, papar laporan tersebut.

Penerjemah: Xinhua
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023