Jakarta (ANTARA News) - Klub-klub atau komunitas fotografi umumnya suka dan bangga memamerkan karya-karya mereka pada pameran, tapi tidak demikian dengan Asosiasi Fotografi Forensik Indonesia (AFFI).

"Fotografi forensik pada dasarnya mendokumentasikan obyek foto dengan keakuratan. Fotografi forensik juga lebih menonjolkan aspek sains dibanding kreasi foto," kata Pembimbing Teknik AFFI, Makarios Soekojo, dalam pameran foto Focus 2013 di Jakarta, Jumat.

Makarios mengatakan fotografi forensik jarang menyelenggarakan pameran karena foto-foto yang dihasilkan tidak boleh dipublikasikan atau dengan batasan-batasan tertentu.

"Kalaupun ada pameran, mungkin hanya ada simulasi olah tempat kejadian perkara saja atau seperti foto bencana alam," kata Makarios.

Fotografi forensik jarang memamerkan karya karena foto-foto yang dihasilkan termasuk dalam dokumentasi resmi untuk kepentingan analisa kejadian atau bukti baik peristiwa kriminal, kecelakaan, maupun bencana alam.

Klub fotografi forensik itu lebih mengandalkan kegiatan atau praktik pemrotetan forensik daripada karya seni fotografi.

Pemotret foto forensik, menurut Makarios, harus menguasai teknik fotografi serta pengetahuan tentang pengumpulan bukti-bukti peristiwa atau forensik.

"Misalnya, pemotret harus memakai lensa ukuran tertentu untuk mendapatkan perspektif obyek sebagaimana sebenarnya dan mendapatkan detail obyek," kata Makarios.

Dalam praktiknya, fotografi forensik tingkat lanjut bahkan menggunakan alat-alat tambahan layaknya peneliti forensik seperti cairan kimia atau sinar ultra-violet untuk menampilkan bukti kejadian.

Makarios mengatakan fotografi forensik menggunakan dua tipe lensa yang utama yaitu lensa standar 50 milimeter dan lensa 28-135 milimeter.

Fotografi forensik juga mengutamakan foto warna dibanding foto hitam-putih untuk menampilkan obyek sesuai adanya kecuali untuk menampilkan sidik jari manusia.

Namun, keterbatasan untuk memamerkan karya bukan berarti fotografi forensik sekedar mempelajari teknik fotografi tanpa ada imbal hasilnya.

"Kalau di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, fotografi forensik menjadi pekerjaan khusus oleh orang sipil dan menjadi bagian tim forensik," kata Makarios.

Makarios mengatakan tidak ada patokan tetap berapa nilai yang diterima profesi fotografer forensik, tapi di AS konsultan fotografi forensi dapat menerima upah 100 dolar AS per jam di luar biaya memotret obyek forensik.

Profesi fotografer forensik tidak hanya untuk mengumpulkan bukti-bukti forensik peristiwa kriminal atau kecelakaan untuk proses pengadilan, tapi juga untuk industri.

"Jika ada kecelakaan kereta api misalnya, PT KAI juga membutuhkan fotografi forensik untuk menyelidiki penyebab kecelakaan untuk perbaikan sarana," kata Makarios.

Peminat cabang fotografi sekaligus profesinya itu diperkirakan meningkat pada lima tahun mendatang seiring dengan peningkatan kebutuhan di kalangan industri dan sektor lain.

Makarios melanjutkan seorang fotografer setidaknya perlu melewati tiga tahapan untuk mendapatkan sertifikat sebagai fotografer forensik.

"Pertama, dasar-dasar fotografi forensik serta dokumentasi peristiwa," kata Makarios.

Tahapan kedua dan ketiga adalah teknik pengambilan foto forensik untuk pengambilan bukti peristiwa. Tapi pada tahap ketiga, pengambilan foto forensi lebih ditekankan pada pemotretan obyek di laboratorium dengan bantuan alat-alat forensik.

Asosiasi Fotografi Forensik Indonesia (AFFI), lanjut Makarios, saat ini masih membuka pendaftaran anggota baru. Asosiasi yang didirikan dokter forensik Ferryal Basbeth sejak 2007 itu mempunyai jaringan ke Kepolisian Republik Indonesia dan Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia.

(I026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013