Bengkulu, (ANTARA News) - seringnya harimau di Bengkulu masuk ke perkampungan dan memangsa ternak masyarakat karena habitatnya rusak akibat di rambah dan kegiatan "illegal logging" (pembalakan liar). "Kalau habitatnya tidak rusak tak mungkin harimau tersebut masuk ke perkampungan dan memangsa ternak warga," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Agung Setyabudi di Bengkulu, Selasa (20/6). Pekan lalu (15/6), tiga ekor harimau masuk perkampungan dan memangsa ternak berupa kambing dan anjing milik warga di Desa Sulau Wangi, Kecamatan Tanjung Kemuning Kabupaten Kaur. Pihak BKSDA berusaha untuk menangkap binatang buas tersebut dengan memasang perangkap, namun harimau tersebut tidak muncul lagi diduga telah kembali ke habitatnya di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). "Upaya penangkapan sudah kita hentikan karena harimaunya tidak kembali, namun diharapkan masyarakat tetap waspada dan segera melapor jika hewan itu datang lagi," katanya. Kejadian masuknya harimau ke perkampungan kerap kali terjadi di Bengkulu. Pada Juni 2005 dua ekor "raja hutan" tersebut masuk ke Desa Padang Lebang Kecamatan Tanjung Kemuning Kabupaten Kaur dan memangsa ternak warga setempat. Harimau keluar dari hutan akibat maraknya penebangan liar di daerah tersebut dan kebiasaan masyarakat berburu rusa, padahal rusa merupakan makanan utama harimau. "Karena harimau tersebut lapar, sementara makanan di hutan sudah tidak ada maka harimau tersebut keluar dan memakan ternak warga," ujarnya. Terkait ancaman pembunuhan oleh warga jika harimau kembali datang, menurut Agung hal itu tidak akan terjadi karena masyarakat telah diberi penjelasan agar tak membunuhnya. "Kita sudah beri penjelasakan kalau harimau merupakan binatang dilindung dan tak boleh dibunuh. Saya yakin masyarakat tak akan membunuhnya," ujarnya. Pemburu Liar Sementara itu, para pemburu liar yang sering masuk ke kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan hutan lainnya yang menjadi habibat Harimau Sumatera merupakan ancaman bagi kelestarian binatang dilindungi tersebut. "Kalau masyarakat tidak berani membunuh harimau, yang kita takutnya justru kegiatan perburuan liar yang memang sengaja mencari binatang langka seperti Harimau Sumatera itu," lanjut Agung Setyabudi. Apalagi jaringan penjualan kulit harimau dan binatang langka lainnya diduga masih berkeliaran di Provinsi Bengkulu sehingga mengancam kelestarian hewan yang dilindungi itu. Indikasinya, cukup banyak pelaku pembawa kulit harimau yang telah berhasil ditangkap tim gabungan dari Polisi Hutan (Polhut) BKSDA dan Kepolisian setempat. Selama 2005-2006, tim gabungan dari Polda Bengkulu dan Polhut BKSDA Bengkulu telah berhasil menangkap lima pelaku pembawa kulit hariumau, satu di antaranya Rabihil Kana, mantan oknum anggota DPRD Kabupaten Bengkulu Utara. Diduga jaringan penjualan kulit harimau tersebut dibiayai bandar "berkantong tebal" yang siap membiayai warga untuk melakukan perburuan binatang langka tersebut. "Informasi yang kita terima, para pemilik modal itu berani memberikan sejumlah uang untuk modal berburu. Jika berhasil langsung dibayar, kalau gagal para pemburu tak dibebani untuk mengembalikan uang itu," kata Kepala Satuan Tugas Polhut BKSDA Bengkulu, Anthoni. Anthoni juga menjelaskan, masih banyak warga yang mengoleksi opsetan binatang langka terutama beruang. Pada Januari 2006 tim gabungan berhasil mengamankan dua ekor beruang opsetan. Ketika ditanya, ia menjelaskan, tindakan para pelaku penjual dan pembeli kulit harimau serta pemilik binatang opsetan itu merupakan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam UU No 5 tahun 1990. "Beberapa pelaku termasuk Rabihil Kana sudah diproses bahkan telah jatuhi hukuman oleh pengadilan," katanya. Guna memberantas jaringan perdagangan kulit harimau dan satwa langka tersebut, tim gabungan Polda dan BKSDA Bengkulu secara rutin melakukan razia, baik di jalan raya maupun di hutan yang diduga menjadi tujuan perburuan. "Ini (perdagangan-red) tidak bisa dibiarkan, karena mengancam kelesatarian hewan langka. Jika terus berlanjut maka binatang langka di Bengkulu akan musnah," Ujar Anthoni.(*)

Copyright © ANTARA 2006