Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan upaya Indonesia menghindari konsekuensi bencana dari perubahan iklim (climate change) bukan ingin ikut-ikutan/latah secara internasional, tetapi melayani kepentingan tanah air.

“Indonesia bahkan sudah mencapai komitmen untuk mengurangi emisi karbon dalam bentuk national determined contribution (NDC) kita, (yakni) gimana kita berkontribusi secara global mengurangi emisi CO2 dengan target pengurangan 29 persen dan bahkan baru saja di enhance menjadi 31,89 persen with our own effort,” ujar dia dalam acara The 11th Indonesia EBTKE Conference and Exhibition 2023 "From Commitment to Action: Safeguarding Energy Transition Towards Indonesia Net Zero Emissions 2060” yang dipantau secara virtual, Jakarta, Rabu.

Jika mendapatkan dukungan internasional, lanjut dia, Indonesia berambisi menurunkan emisi global 41 persen yang dapat meningkat hingga 43,2 persen. Artinya, di satu sisi Indonesia akan ada pertumbuhan permintaan terhadap konsumsi energi mengingat seiring masyarakat semakin maju dan sejahtera.

Misalnya, terdapat peningkatan konsumsi listrik dari 450 volt ampere (VA) menjadi 1.200 VA atau 2.000 VA. Jika ditambahkan dengan jumlah rumah tangga 78 juta, maka jumlah kebutuhan energi akan terus meningkat.

Karena itu, ucap Menkeu, diperlukan cara untuk membangun pembangkit listrik tanpa memperburuk CO2.

Baca juga: Menkeu: RI akan hadapi implikasi tidak mudah akibat perubahan iklimBaca juga: Menkeu: Defisit APBN 2022 2,35 persen bukti pemulihan ekonomi RI kuat

The only solution untuk kita growing demand yang di respond dengan growing supply untuk energy tanpa memperburuk atau bahkan mengurangi CO2 emission adalah renewable energy. That's the only way,” kata Sri Mulyani.

Saat ini, Indonesia sudah membuat estimasi untuk mencapai komitmen NDC dengan kebutuhan dana sebesar Rp4 ribu triliun hingga tahun 2030. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia setiap tahun yang sebesar Rp3 ribu triliun.

“Kita tahu bahwa tidak mungkin kebutuhan biaya untuk bisa menciptakan dan men-deliver tekad kita untuk mengurangi CO2 berasal dari APBN saja. Peranan private sector (dan) masyarakat menjadi sangat penting. APBN mungkin kontribusinya bahkan bisa hanya sekitar 10 persen, no more than even 20 persen, bahkan mungkin hanya 10 persen, namun APBN bisa memberikan leverage melalui berbagai insentif,” ungkapnya.

Sri Mulyani memperkirakan kerugian ekonomi sebesar 0,66-3,45 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) jika perubahan iklim dibiarkan tanpa penanganan.

Apabila PDB Indonesia pada tahun 2023 sekitar Rp20 ribu triliun, dapat dibayangkan income per kapita di tanah air bisa meningkat hingga 10 ribu per dolar AS pada tahun 2030 dengan asumsi pertumbuhan ekonomi terjaga di angka 5-7 persen plus inflasi. Ini berarti size PDB Indonesia bisa mencapai dua kali lipat dalam kurang dari 7 tahun.

“Sekarang sudah 2023, 2 kali lipat, katakanlah Rp40 ribu triliun, then you can multiply 3,45 persen dari GDP (Gross Domestic Product) itu berapa? Itu adalah kerugian (akibat perubahan iklim). So for sure, kita akan menghadapi potential damage dan loss yang sangat signifikan (akibat perubahan iklim jika tidak ditangani),” kata Menkeu.

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2023