Jakarta (ANTARA News) - Direktur Pemberitaan Perum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara Akhmad Kusaeni menilai pers telah memiliki banyak andil dalam mempopulerkan bahasa, terutama di era reformasi.

"Pers besar jasanya dalam menyebarluaskan penggunaan kata-kata, istilah dan ungkapan baru," katanya dalam seminar bertajuk "Kode Etik Jurnalistik dan Penggunaan Bahasa Dalam Pemberitaan Media" di Auditorium Adhiyana, Wisma Antara, Jakarta, Kamis.

Kusaeni mencontohkan kata korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kroni, konspirasi sebagai bahasa asing yang muncul di zaman reformasi dan diperkenalkan oleh pers.

"Istilah-istilah itu sudah ada di dalam kamus, tetapi selama ini tidak terpakai secara umum atau hanya terbatas di kalangan tertentu," katanya.

Selain itu, pers juga sangat berperan dalam mengenalkan kata-kata yang baik dan efisien, seperti madani (civil society), rudal (peluru kendali), tilang (bukti pelanggaran), dan lainnya.

Dia menjelaskan kemunculan kata-kata atau istilah baru tersebut didorong oleh kebebasan pers pada waktu itu yang semula terkekang.

"Tadinya tabu, sekarang sudah jadi bebas. Namun, reformasi dan globalisasi seolah menjadi dalih pembenaran untuk kembalinya bahasa gado-gado dalam masyarakat kita," katanya.

Kusaeni berpendapat pers juga banyak dituduh dalam merusak bahasa Indonesia.

Dia menjelaskan hal tersebut terjadi karena faktor teknis, seperti ketergesa-gesaan ataupun kesengajaan karena tidak peduli dengan kaidah bahasa.

Dia menyebutkan kata-kata tersebut, seperti "ngelabrak", "ngedumel", "menghujat" dan sebagainya.

"Jadi, dosa merusak bahasa dan pahala menyebarkan penggunaan istilah serta kata-kata baru oleh pers boleh dikatakan berimbang," katanya.

Dia juga mengimbau kepada pers, terutama wartawan, untuk menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan tegas dalam pemberitaan.

"Menulis berita harus langsung ke masalahnya dan jangan berbunga-bunga karena akan menjemukan pembaca dan itu adalah musuh utama penulisan berita," katanya.

Dia menyebutkan kecenderungan pers akhir-akhir ini yang dapat menimbulkan kekhawatiran perkembangan bahasa Indonesia, di antaranya bertambahnya jumlah singkatan atau akronim dan penggunaan istilah asing.

Hal tersebut, menurut dia, bisa menimbulkan snobisme berbahasa, yakni penggunaan istilah teknis dan rumit untuk menimbulkan kesan pintar.

"Tugas wartawan itu mempermudah yang sulit, bukan sebaliknya mempersulit yang mudah," katanya.

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013