Kurangnya orang tua yang teredukasi serta kondisi ekonomi yang lemah dinilai menjadi penyebab tingginya angka perkawinan anak
Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjalin kerja sama dengan Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) dalam menyebarkan edukasi bahayanya perkawinan anak dan penurunan stunting kepada masyarakat.

“Kurangnya orang tua yang teredukasi serta kondisi ekonomi yang lemah dinilai menjadi penyebab tingginya angka perkawinan anak. Hal itu berdampak pada kondisi biologis khususnya pihak perempuan, dimana usianya belum cukup matang untuk melahirkan berpotensi menyumbang jumlah bayi yang terlahir stunting,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan perkawinan anak menjadi salah satu pemicu lahirnya bayi stunting. Bila bayi sudah terlanjur terlahir dalam kondisi stunting, pemberian tata laksananya akan jauh lebih rumit dibandingkan pencegahanya.

Oleh sebab itu, dalam menggencarkan edukasi pencegahan lahirnya bayi stunting baru kepada masyarakat, BKKBN mengajak NU untuk membuat semacam kelas pra nikah, yang bisa dikolaborasikan bersama Kantor Urusan Agama (KUA) yang berada di bawah naungan Kementerian Agama.

Ia mengumpamakan bila Pergunu melangsungkan pilot project kelas pra nikah kepada masyarakat yang menyasar 1,9 juta calon pengantin, maka kelas itu dapat dimulai dari provinsi dengan jumlah penduduk yang padat seperti Jawa Tengah.

"Misal dalam waktu tiga bulan dilakukan beberapa kali pertemuan, dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan dasar oleh dokter umum. Hasilnya dimasukkan Aplikasi Elsimil sehingga dapat dikeluarkan sertifikat,” kata Hasto Wardoyo.

Sekretaris Jenderal Pergunu Aris Adi Leksono mengatakan perkawinan anak dapat disebabkan oleh pengasuhan orang tua yang kurang maksimal. Ada beberapa orangtua menolak tindakan membangun kesehatan dan kurangnya kepedulian tumbuh kembang anak sesuai umur.

Di sisi lain perspektif budaya yang keliru seperti menafsirkan jika menikah akan menjamin kekayaan keturunan, akan memberikan dampak buruk bagi anak di masa depan. Belum lagi adanya rasa takut sang anak hamil di luar nikah akibat berpacaran, sehingga ingin segera menikahkan tanpa peduli usia anak yang belum matang.

Dengan adanya temuan itu, pihaknya merasa mempunyai potensi yang cukup besar dalam kerja sama ini untuk mendukung program percepatan penurunan stunting melalui para guru, dosen, dan ustad sebagai media mengajar baik di sekolah maupun pesantren lewat sarana khotbah yang dapat meningkatkan rasa keprihatinan masyarakat soal stunting saat ini.

“Kami memiliki anggota yang masif, di mana struktur kelembagaanya terdapat di 35 provinsi, 417 cabang kabupaten/kota, 10.000 perwakilan di tingkat kecamatan, dan saat ini sedang bergerak membentuk ranting di tingkat desa khususnya di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur,” demikian Aris Adi Leksono.

Baca juga: Cegah perkawinan anak, MA diminta evaluasi Perma 5/2019

Baca juga: Menteri PPPA: Cegah perkawinan anak harus libatkan banyak pihak

Baca juga: Kemenko PMK: Perkuat edukasi guna mencegah perkawinan anak

Baca juga: KemenPPPA: Butuh kerja sama multisektor cegah perkawinan anak


 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2023