Vilnius (ANTARA) -  Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ditutup di Vilnius, ibu kota Lithuania, pada Rabu (12/7) di tengah perpecahan antar-anggota dan penentangan dari komunitas internasional.

Dalam KTT itu, NATO mengadopsi "rencana pertahanan paling komprehensif sejak berakhirnya Perang Dingin" dan mendukung rencana aksi produksi pertahanan baru.

Di bawah rencana-rencana baru tersebut, NATO bertujuan untuk memiliki 300.000 tentara yang siap beraksi. Sekutu-sekutu NATO juga membuat "komitmen abadi" untuk menginvestasikan sedikitnya dua  persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka setiap tahun pada pertahanan, menurut sebuah komunike yang dipublikasikan di KTT itu.
 
    


Hanya 11 dari 31 anggota aliansi yang telah mencapai atau melampaui target ini setelah "sembilan tahun berturut-turut meningkatkan belanja pertahanan" sejak 2014, papar dokumen yang dirilis pada KTT tersebut.   

NATO, yang merupakan aliansi regional antara Eropa dan Amerika Utara, kembali mengundang para pemimpin Australia, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan, yang disebut sebagai mitra di kawasan Asia-Pasifik, guna menghadiri KTT mereka untuk kedua kalinya dan berjanji akan "semakin memperkuat dialog dan kerja sama guna mengatasi berbagai tantangan keamanan kita bersama," sebut komunike tersebut.

Para pemimpin NATO juga berjanji untuk memberikan lebih banyak dukungan jangka panjang kepada Ukraina dan menggelar pertemuan perdana Dewan NATO-Ukraina yang baru dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Namun, mereka gagal menetapkan jadwal keanggotaan Ukraina dalam aliansi tersebut, yang oleh Zelensky disebut "belum pernah terjadi sebelumnya dan absurd."

Para anggota NATO terpecah soal bagaimana membawa Ukraina lebih dekat ke blok mereka. Meski beberapa anggota dari Eropa Timur mendesak komitmen eksplisit tentang kapan Ukraina akan bergabung, Amerika Serikat dan Jerman enggan mengklarifikasi, sebut beberapa laporan.
 
 


Dalam komunike, blok militer itu menyebut China sebanyak 15 kali, mengatakan bahwa "ambisi dan kebijakan koersif China menantang kepentingan, keamanan, dan nilai-nilai kita" serta menyebut China menimbulkan "tantangan sistemik" terhadap aliansi tersebut.

Sebagai tanggapan, China pada Rabu membantah klaim itu.

"Apa yang dikatakan dalam komunike NATO sangat bertentangan dengan kebenaran serta merupakan produk dari mentalitas Perang Dingin dan bias ideologis. China sangat menentangnya," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin dalam sebuah konferensi pers harian.

"Kami mendesak NATO untuk berhenti melontarkan tudingan tidak berdasar dan retorika provokatif yang menargetkan China, meninggalkan mentalitas Perang Dingin yang sudah usang, berhenti melakukan kesalahan untuk mencari keamanan absolut. Kami sudah melihat apa yang telah dilakukan NATO pada Eropa, dan NATO tidak boleh berupaya menabur kekacauan di Asia-Pasifik maupun di tempat lain di dunia," tambahnya.
 
 


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2023