Masalahnya, jalan menuju normalisasi hubungan diplomatik Saudi-Israel sangatlah terjal.
Jakarta (ANTARA) - Isu normalisasi hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Israel tiba-tiba mencuat belakangan ini, terutama setelah Saudi membuka lagi hubungan diplomatik dengan Iran.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden sendiri berambisi merekatkan hubungan Saudi-Israel yang di permukaan berseberangan, tetapi kerap seiring di belakang layar.

Biden pada 9 Juli lalu memang menyatakan normalisasi hubungan Saudi-Israel harus melewati jalan yang panjang, tapi tidak membunuh upaya menjembatani hubungan kedua negara tersebut.

Yang terjadi, Biden tetap mengutus misi-misi diplomatiknya untuk aktif melobi kedua negara agar memiliki hubungan diplomatik formal, seperti normalisasi hubungan Saudi-Iran yang dijembatani China.

Sebelum normalisasi hubungan Saudi-Iran pada 10 Maret 2023, banyak kalangan mengira kekhawatiran Saudi dan Israel terhadap Iran, bakal mendorong menormalisasi hubungan diplomatik Saudi-Israel.

Tak hanya karena faktor Iran, selama ini Saudi dan Israel sebenarnya aktif menjalin kontak di belakang layar, mulai dari intelijen sampai olah raga.

Terakhir, Saudi bersedia membuka wilayah udaranya untuk maskapai-maskapai komersial Israel sehingga warga Israel yang hendak ke Asia bisa melalui rute yang lebih pendek.

Contoh termutakhir lainnya adalah ketika atlet-atlet Israel masuk Saudi untuk mengikuti kompetisi esport yang disponsori FIFA, sebagai salah satu wakil Eropa. Turnamen ini digelar dari 16 Juli esok sampai lusa 17 Juli.

Atlet-atlet esport Israel yang pada dasarnya datang ke Saudi sebagai tamu FIFA itu, tiba di Saudi dengan menggunakan paspor Israel lewat Uni Emirat Arab.

Uni Emirat Arab adalah satu dari empat negara Arab yang baru saja membuka hubungan diplomatik dengan Israel di bawah prakarsa presiden AS saat itu, Donald Trump. Prakarsa ini dinamai dengan Abraham Accord.

Uni Emirat Arab membuka hubungan diplomatik dengan Israel pada 13 Agustus 2020. Satu bulan kemudian disusul Bahrain, sedangkan Maroko melakukannya pada akhir tahun itu, dan ditutup Sudan pada awal 2021.

Dengan demikian, sudah enam negara Arab yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Dua lainnya adalah Mesir dan Yordania.

Tetap saja, Saudi adalah negara yang paling diinginkan Israel dan AS, karena statusnya sebagai pemimpin dunia Arab dan dunia Islam.

Arab Saudi sendiri, terutama selama era pemerintahan Raja Salman dan penguasa de facto Pangeran Mohammed bin Salam Al Saud yang biasa disapa MBS, tidak mengesampingkan opsi membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Sejauh ini sudah banyak petinggi Saudi yang mengisyaratkan negaranya tak menutup kemungkinan membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Salah seorang di antara para petinggi Saudi itu adalah Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat, Putri Rima binti Bandar Al Saud.

Baca juga: ASEAN tekankan pentingnya solusi adil atasi konflik Israel-Palestina

Bukan sekadar normalisasi

Pada 27 Juni 2023, saat diwawancarai NBC, Putri Rima menyatakan Saudi membayangkan Israel sebagai bagian dari "Timur Tengah yang terintegrasi".

Menurut dia, Saudi ingin melihat "Israel yang makmur" dan "Palestina yang makmur" berdampingan dalam komunitas Timur Tengah.

Bahkan menurut sang putri, Israel menjadi bagian dari gagasan besar Timur Tengah yang bersatu, terintegrasi, dan makmur seperti tercantum dalam Visi Saudi 2030.

Putri Rima menegaskan Saudi bukan hanya tidak menutup peluang normalisasi hubungan dengan Israel, tetapi juga menginginkan Israel berintegrasi dalam komunitas Timur Tengah.

Saudi, menurut Putri Rima, menginginkan Timur Tengah menjadi blok terintegrasi seperti Uni Eropa yang menjadi kumpulan berbagai negara berdaulat, tapi berbagi kepentingan yang sama.

Pandangan Putri Rima itu mustahil keluar dari bingkai rencana-rencana besar MBS untuk Saudi.

Sebaliknya, pandangan itu sejalan dengan hasrat rezim Saudi yang sekaligus mengkristalisasikan praktik hubungan tidak resmi yang selama ini terjalin antara Saudi dan Israel.

Kedua negara itu sebenarnya terus membina hubungan di belakang layar. Kedua sekutu terpercaya Amerika Serikat di Timur Tengah tersebut acap mengadopsi politik luar negeri yang sejalan satu sama lain, khususnya berkaitan dengan Iran.

Bagi Israel, membuka hubungan diplomatik dengan Saudi adalah lompatan besar dalam sejarah mereka, yang juga diakui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang pemerintahannya merangkul kelompok kanan jauh yang amat memusuhi Palestina.

Sementara itu bagi AS, normalisasi hubungan Saudi-Israel adalah pencapaian politik besar yang bisa merelaksasi mereka untuk fokus ke Asia Pasifik guna mengimbangi China.

Biden pribadi melihat normalisasi hubungan Saudi-Israel sebagai kesempatan menaikkan citra yang bisa membantunya terpilih lagi dalam Pemilu 2024.

Masalahnya, jalan menuju normalisasi hubungan diplomatik Saudi-Israel sangatlah terjal.

Tak seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan yang sudah lebih dulu membuka hubungan diplomatik dengan Israel, Saudi memasang syarat yang begitu berat.

Menteri Luar Negeri Saudi Faisal bin Farhan menyatakan normalisasi hubungan dengan Israel tergantung kepada bagaimana Israel membuktikan janji-janjinya dalam Prakarsa Damai Arab 2002.

Prakarsa itu menyatakan Arab akan mengakui Israel jika Israel memberi jalan kepada terwujudnya Negara Palestina, dan mengembalikan semua wilayah Palestina yang diduduki Israel setelah Perang Enam Hari pada 1967.

Pandangan tersebut ditegaskan lagi oleh MBS dalam KTT Liga Arab di Jeddah pada 19 Mei, bahwa Palestina tetap prioritas utama Saudi.

Baca juga: Arab Saudi menjadi negara ke-51 yang tandatangani TAC ASEAN
Konsesi besar

Israel menganggap syarat dari Arab Saudi itu sulit diluluskan, terutama akibat spektrum kanan yang belakangan masa ini menjadi wajah paling kental dalam politik Israel.

Menurut sejumlah kalangan di Barat, Saudi juga mengajukan syarat-syarat lain kepada AS, yakni jaminan keamanan seperti diberikan AS kepada Eropa dalam kerangka NATO, dukungan program nuklir damai Saudi, dan akses kepada sistem persenjataan canggih AS.

Menurut Stockholm International Peace Research Institute, dalam periode 2017-2021, Saudi adalah pembeli terbesar produk militer AS yang mencapai 23 persen dari total volume perdagangan senjata AS.

Saudi tahu bahwa Israel dan AS akan sangat sulit meluluskan permintaannya itu.

Namun hal itu tidak akan mengendurkan sikap Saudi karena saat ini pilihan-pilihan politik Saudi bertambah banyak, termasuk dari Rusia dan China yang sudah menawarkan kerja sama pengembangan energi nuklir.

China bahkan menjadi pasar ekonomi penting Saudi yang menjadi pembeli terbesar minyak Saudi.

Bukan tak mungkin, hubungan dengan China itu kian meluas yang akhirnya memperlebar jalan bagi China dalam mengubah atmosfer politik Timur Tengah menjadi lebih condong ke China.

Ini jelas merugikan AS dan sekaligus membuat normalisasi Saudi-Israel menjadi konsep yang begitu rumit, sampai Joe Biden sendiri pun menyatakan jalan masih terlalu panjang untuk normalisasi hubungan Saudi-Israel.

Dari situ terlihat jelas Saudi adalah pihak yang memegang kartu as, sedangkan AS dan Israel menjadi pihak yang diburu waktu untuk segera menciptakan momentum.

Membiarkan Saudi semakin dekat dengan China, tentu tidak bagus bagi AS. Sementara Israel juga tidak nyaman melihat Saudi tidak lagi bermusuhan dengan Iran.

Israel semakin sendirian di Timur Tengah, apalagi Israel melihat AS kian anteng menoleh ke Asia Pasifik yang membuat Timur Tengah tidak lagi menjadi prioritas bagi negara adidaya itu.

Situasi ini diperparah oleh kecenderungan "America First" dalam orientasi politik AS, yang sudah dipraktikkan Donald Trump saat memimpin AS beberapa tahun lalu.

Di sisi lain, Israel sulit meluluskan permintaan Saudi, apalagi Israel terus dalam cengkeraman ekstrem kanan yang tak mau Israel melepaskan daerah-daerah Palestina yang diduduki, dan sangat anti Palestina.

Jika sudah begini, aspirasi untuk normalisasi hubungan Saudi-Israel pun terlihat bagaikan fantasi.

Meskipun demikian, mungkin saja suatu saat manakala realitas politik mengharuskan Israel dan Saudi meningkatkan hubungannya,  normalisasi hubungan bisa diwujudkan.

Hanya saja, hal itu mesti dibayar dengan konsesi-konsesi besar nan mahal. Dan dalam soal ini, Saudi jelas bukan pihak yang mesti memberikan konsesi.

Apakah Israel, dan AS, berani memberikan konsesi-konsesi itu?

Jika berani,  mereka membuat lompatan diplomatik yang luar biasa hebat. Sebaliknya, jika tak mau memberikan konsesi-konsesi besar itu,  tawaran normalisasi hubungan diplomatik mereka kepada Saudi adalah isapan jempol semata.

Copyright © ANTARA 2023