kita harus memandang ke depan dan kita harus optimistis
Ponorogo, Jawa Timur (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Selasa menggelar ritual kirab dan jamasan pusaka daerah dari kompleks makam Bathara Katong menuju pusat kota untuk dijamas menjelang malam satu Suro (Muharam atau tahun baru Islam).

Dipimpin langsung oleh Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko yang mengenakan pakaian khas warok yang didominasi corak warna hitam, beskap atau ikat kepala, prosesi kirab berlangsung meriah.

Salah satu kegiatan utama dalam rangkaian Grebeg Suro itu disaksikan ribuan warga yang berjubel menyaksikan dari tepi jalan hingga lokasi jamasan.

Ada tiga pusaka yang dikirab sebagai simbolisasi pemindahan pemerintah dari kota lama kompleks makam Bathara Katong menuju kota baru di kompleks Pemkab Ponorogo.

Ketiga pusaka yang diarak itu adalah tombak kiai tunggul naga, angkin cinde puspita, dan tombak songsong kiai tunggul wulung.

Baca juga: Menparekraf Sandiaga usulkan Grebeg Suro jadi festival internasional
Baca juga: Ponorogo kerahkan TRC antisipasi pengemis selama gelaran Grebeg Suro


Bupati Sugiri menyebut, setiap pusaka memiliki makna bagi seorang pemimpin. Songsong Kiai Tunggul Wulung memiliki makna seorang pemimpin harus bisa memayungi, mengayomi, melayani masyarakat.

"Dimanapun stratanya pemimpin harus bisa memayungi yang dipimpin, biar suasana teduh," ucap dia.

Orang nomer satu di Ponorogo tersebut juga berharap dalam menyambut tahun baru Islam atau satu Suro, masyarakat bisa melakukan introspeksi diri, tidak merasa jumawa terhadap semua keberhasilan namun, harus tetap optimis menuju ke depan.

"Bersama berintrospeksi menengok ke belakang, apa yang pernah kita lakukan, kita harus memandang ke depan dan kita harus optimistis," katanya.

Selain ketiga pusaka yang dikirab dan dijamas, Ponorogo sebenarnya memiliki satu lagi senjata pusaka. Total pusaka yang dimiliki dan dikelola Pemkab Tulungagung dengan demikian ada empat bilah.

Baca juga: Meriahkan "Grebeg Suro", Ponorogo siapkan 29 kegiatan budaya
Baca juga: Grebeg Suro di Hutan Bambu Lumajang terapkan protokol kesehatan


Sunarso, salah satu budayawan Ponorogo mengatakan selain tiga pusaka tombak kiai tunggul nogo, sabuk angkin cinde puspito dan payung songsong kiai tunggul wulung, ada satu pusaka lagi yakni Keris Kiai Kodok Ngorek.

"Tapi keris kiai kodok ngorek itu sudah tidak ditemukan lagi setelah Bupati Cokronegoro yang kedua," kata Sunarso.

Sunarso mengatakan dalam perjalanannya keris Kiai Kodok Ngorek merupakan hadiah dari Pakubuwono III karena Bupati pertama setelah menjadi daerah Kabupaten Eyang Mertohadinegoro saat itu merupakan menantu raja Kasunan Surakarta.

Setelah Bupati Eyang Mertohadinegoro meninggal dunia, posisi bupati digantikan Bupati selanjutnya hingga Bupati ke IV Cokronegoro II.

Keris itu sempat menjadi pusaka milik Ponorogo namun hanya sampai Eyang Cokronegoro II. Hingga saat ini belum diketahui tempatnya dimana. Namun, bukti sejarah terkait pusaka pemberian raja Kasunan Surakarta tersebut masih ada

"Bukti sejarahnya ada, saya pernah membaca literaturnya di perpustakaan milik Kasunanan Surakarta," paparnya.

Sedangkan untuk sejarah ketiga pusaka yang saat ini tersimpan di rumah dinas Bupati Ponorogo tersebut, berawal dari raja Majapahit Brawijaya ke V sedang terhimpit oleh pemberontak menugaskan dua orang yakni Eyang Joyodrono dan Joyodipo untuk merawat Tombak Kiai Tunggul Nogo Sabuk dan Payung Songsong Kiai Tunggul Wulung.

Baca juga: Grebeg Suro di Gunung Semeru tingkatkan pariwisata Lumajang
Baca juga: Perputaran uang "Grebeg Suro Ponorogo" ditaksir Rp12 miliar

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023