Surabaya (ANTARA) - Pondok pesantren (ponpes) merupakan institusi pendidikan keagamaan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, terutama yang beragama Islam.

Jika dilihat dari aspek kelembagaan, ponpes memiliki keunikan dibandingkan dengan madrasah ataupun lembaga pendidikan keagamaan lainnya.

Hal-hal yang membedakan antara madrasah dengan pondok pesantren adalah pola tempat tinggalnya serta adanya sosok kiai dalam pesantren. Kiai ini memiliki peran sentral yang mampu menghubungkan berbagai hal yang dianggap representasi modernitas dengan institusi pesantren.

Jika madrasah merupakan lembaga pendidikan formal (klasikal) yang menekuni bidang agama Islam dan memasukkan bidang umum sekaligus, pesantren merupakan lembaga pendidikan berasrama yang khusus mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan.

Dalam perkembangannya, pondok pesantren di Indonesia saat ini cenderung mengalami perubahan dari pesantren tradisional menjadi pesantren modern. Pesantren modern biasanya menggunakan label Islamic Modern Boarding School, yang dari segi biaya pendidikannya relatif lebih mahal.

Perubahan dipengaruhi oleh perkembangan kemajuan zaman, termasuk teknologi informasi, yang masuk ke pesantren. Perubahan yang terjadi, di antaranya menyangkut bangunan atau fisik pesantren yang lebih bagus dan mewah.

Selain itu, berkaitan dengan cara pengelolaan dan kepengasuhan teknis pesantren, yang awalnya berasal dari bentuk kepemimpinan personal kiai, berubah menjadi bentuk kolektif yang diwujudkan dalam yayasan.

Peningkatan jumlah program pendidikan di pesantren dan keterbukaan pesantren untuk menerima atau bersinggungan dengan pengetahuan praktis non-agama, seperti ekstrakurikuler pesantren.

Dari semua itu terdapat kompetisi dan partsisipasi orang dalam pembiayaan pada lembaga pendidikan Islam, sehingga beberapa pondok pesantren memberikan opsi biaya asrama. Patisipasi pendanaan dari orang tua dalam pendidikan Islam ini didukung oleh peningkatan kesejahteraan masyarakat Muslim kelas menengah di perkotaan.

Meskipun mensyaratkan partisipasi biaya dari orang tua, pesantren modern masih menganggap modal spiritual sebagai hal yang penting.


Kualitas sekolah

Bersamaan dengan kondisi tersebut membuat sejumlah sekolah umum yang ada di perkotaan mengalami kekurangan siswa, seperti yang terjadi di Kota Surabaya, Jawa Timur, pada tahun ajaran baru 2023/2024 ini.

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi saat memantau pelaksanaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tahun ajaran baru 2023/2024 di sejumlah sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di Kota Surabaya, belum lama ini menemukan fakta kekurangan siswa itu.

Setelah melakukan pengecekan ke sekolah negeri dan swasta terkait jumlah peserta didik yang mendaftar ke jenjang yang lebih tinggi, jumlah pendaftar tidak sama dengan lulusan pada jenjang pendidikan di bawahnya.

Tidak hanya itu, pada tahun ajaran baru ini, banyak sekolah swasta di Surabaya yang jumlah siswanya menurun. Jika pada tahun ajaran sebelumnya jumlah peserta didik mencapai tiga kelas, kini menjadi hanya 2,5 kelas.

Orang pertama di Pemerintah Kota Surabaya itu menilai minimnya jumlah peserta didik di Surabaya itu dikarenakan saat ini banyak orang tua lebih suka menyekolahkan anak-anaknya ke pondok-pondok pesantren modern.

Banyak orang tua yang menitipkan anaknya ke pondok modern karena ingin membentuk karakter sang anak. Hal itu dilakukan karena para orang tua meyakini pondok modern dengan sistem yang ada mampu menciptakan generasi yang berakhlak baik.

Selain itu, alasan orang tua juga ingin anaknya tidak terpengaruh pergaulan negatif dengan memasukkan anaknya ke pondok pesantren.

Tentunya hal itu menjadi evaluasi bagi wali kota terkait kualitas pendidikan di Surabaya selama ini. Untuk itu, sistem pendidikan di sekolah-sekolah Surabaya harus beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Wali Kota meminta lembaga pendidikan SD-SMP swasta di Surabaya dapat lebih meningkatkan kualitas sekolahnya, baik infrastruktur sekolah maupun kualitas tenaga pendidik dan lainnya.

Dengan kualitas pendidikan yang baik itu, maka diharapkan para orang tua bisa mempertimbangkan bisa menyekolahkan anaknya di sekolah umum.


Pendidikan karakter

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menekankan pentingnya penanaman karakter bagi murid sekolah di Surabaya. Penanaman karakter itu dilakukan dengan penerapan model pembelajaran baru.

Guru dapat membentuk anak-anak yang berkarakter. Percuma menjadi orang pintar, tapi tidak punya karakter dan tidak memiliki akhlakul kharimah.

Untuk itu, wali kota ingin sekolah tingkat SD hingga SMP menyisihkan waktu pada akhir jam belajar untuk diisi kegiatan yang disenangi murid. Kegiatan itu akan disesuaikan dengan minat murid, seperti kegiatan tari, lukis, drama, dan sebagainya.

Pemerintah Kota Surabaya menginginkan adanya pendidikan karakter anak yang mengedepankan perilaku keagamaan. Sebab, pemkot memiliki beragam program pendidikan non-formal untuk memenuhi kehausan keagamaan, akademis, dan pengembangan talenta anak.

Pendidikan nonformal, seperti Taman Pendidikan Al-Quran dan Sekolah Minggu diharapkan bisa memenuhi aspek religi itu. Selain kegiatan ini, ada pula program Sekolah Arek Suroboyo (SAS) yang juga menanamkan tiga aspek, yakni agama, akademis, dan talenta.

Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya pun menerapkan dua jam pendidikan karakter di SD dan SMP yang ada di Surabaya. Para guru diminta untuk membentuk karakter siswa melalui pembenahan pola pembelajaran.

Tidak hanya itu, para guru dituntut mampu memberikan teladan kepada para anak didiknya agar bisa menghormati orang tua dan para guru di sekolah. Begitu juga guru diminta mengajarkan anak-anak untuk mencium tangan.

Kepandaian seorang siswa juga harus diimbangi dengan karakter yang kuat. Sehingga sekolah wajib menyediakan kegiatan yang bertumpu pada pembentukan karakter para siswa, seperti kegiatan seni dan keagamaan.

Pada akhirnya, penerapan kebijakan tersebut juga dinilai bisa mencegah kenakalan di kalangan remaja. Ketika seluruh anak di Surabaya sudah terbentuk karakter kebangsaan yang kuat, maka tidak akan ada namanya kenakalan remaja, termasuk tawuran antarsiswa akibat minum-minuman keras.

Untuk hasil maksimal, pendidikan karakter ini seyogyanya tidak hanya dibebankan kepada guru atau sekolah, tapi juga orang tua. Harapan dari semua itu dapat membentuk kepribadian sang anak. Terlebih lagi, karakter sang anak ini akan cepat terbentuk ketika turut digerakkan oleh para orang tua mereka.

Dengan pola ini, maka keberadaan ponpes di perkotaan bukan "berhadap-hadapan" dengan sekolah umum, melainkan saling berlomba menunjukkan kualitas yang menyeluruh, yakni akademis, akhlak, dan kreativitas kepada peserta didik.

Menanamkan ideologi Pancasila dan keagamaan yang kuat kepada anak juga perlu untuk memperkuat pendidikan karakter. Menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap kehidupan harus bisa menjalankan dan menafsirkan arti dalam butir-butir Pancasila.

Ketika nilai-nilai Pancasila itu dijalankan dalam kehidupan, maka akan muncul rasa gotong-royong, guyub rukun, saling membantu, serta saling menyayangi.

Para tenaga pendidik diharapkan juga dapat membantu anak-anak memahami ajaran kitab suci sesuai dengan kepercayaan yang dianut.

Begitu juga metode menghafalkan kitab suci di kalangan para siswa harus diikuti dengan pemahaman akan arti dan maknanya, sehingga langsung diimplementasikan. Harapannya para siswa bisa menjalankan apa yang ada di kitab suci dalam kehidupan sehari hari.

Dengan ikhtiar bersama ini, cita-cita menuju "Generasi Emas 2045" sebagaimana yang sering disampaikan Presiden Joko Widodo bisa lebih mudah terwujud.


 

Copyright © ANTARA 2023