Stunting perlu mendapatkan perhatian serius karena memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang.
Jakarta (ANTARA) - Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) di Tanah Air diselenggarakan setiap tanggal 23 Juli. Pada tahun ini, Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengangkat tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”.

Peringatan HAN tersebut mengingatkan semua orang agar hak anak dapat terpenuhi dengan baik. Sejak dalam kandungan, anak sebenarnya sudah menghadapi berbagai ancaman yakni stunting. Juga ancaman lainnya saat lahir seperti kekerasan, perkawinan anak, anak berhadapan dengan hukum, dan lainnya.

Stunting, kata yang populer dalam beberapa tahun terakhir, merupakan ancaman nyata yang harus ditanggulangi bersama. Stunting tidak hanya berdampak pada masa depan anak, tetapi juga masa depan bangsa.

Stunting atau tengkes disebabkan sejumlah faktor, mulai dari faktor individu seperti asupan makan individu atau penyakit yang diderita individu. Faktor lainnya, menurut para ahli, di antaranya pendidikan ibu, gizi selama kehamilan, ekonomi, sanitasi rumah tangga, serta akses dan pemanfaatan layanan kesehatan.

Anak yang mengalami tengkes tidak terjadi dalam satu malam saja, karena sejatinya  tengkes tersebut disebabkan kekurangan gizi yang terjadi dalam waktu yang lama.

Menurut ahli tumbuh kembang anak dari Universitas Calgary, Alexander KC Leung, selain disebabkan kekurangan gizi dalam waktu lama, stunting disebabkan kekurangan zat gizi makro maupun mikro dalam waktu yang lama terutama pada periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).

Oleh sebab itu, 1.000 HPK yang dimulai dari saat kehamilan hingga anak mendapatkan usia dua tahun harus mendapatkan perhatian yang serius. Tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua, tetapi juga lingkungan sekitar.

Jika ditarik lebih jauh ke belakang, sebenarnya pencegahan stunting bisa dimulai sejak calon ibu tersebut berusia remaja. Remaja putri yang kadar hemoglobinnya kurang dari 12 dapat mengonsumsi tablet tambah darah yang bertujuan mencegah anemia. Meski terlihat sepele, anemia jika dibiarkan dapat berakibat pada kerentanan terhadap penyakit di usia dewasa, penurunan produktivitas dan prestasi siswa.

Selain menerapkan gaya hidup sehat dan mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, remaja putri juga perlu rutin melakukan pemeriksaan kadar hemoglobinnya di fasilitas kesehatan.

Berikutnya, kondisi ibu saat kehamilan juga perlu diperhatikan. Kondisi ibu yang tidak sehat karena kurang gizi, anemia dan infeksi dapat memengaruhi tumbuh kembang janin dan bisa menyebabkan bayi lahir dalam keadaan tengkes.

Peran suami maupun keluarga terdekat sangat diperlukan untuk memastikan ibu hamil mendapatkan asupan gizi yang cukup, mulai dari protein, zat besi, vitamin A, dan asam folat untuk pertumbuhan yang normal.

Begitu lahir, peran pengasuhan sangat menentukan status gizi anak. Para ibu perlu menyadari bahwa bayi yang berusia enam bulan ke bawah perlu mendapatkan ASI eksklusif yang memiliki kandungan gizi yang lengkap. Sehebat apapun iklan dari susu formula, tak ada yang menandingi kandungan yang terdapat di dalam ASI.

Ibu memiliki peran utama dalam pemberian nutrisi pada anak. Perilaku ibu terkait pola asuh khususnya dalam gizi sangat berperan penting dalam menyediakan menu makanan yang bergizi seimbang. Kurang beragamnnya makanan yang diberikan dan imunisasi yang kurang lengkap dapat juga menjadi pencetus stunting.

 

Perhatian serius

Permasalahan stunting tak hanya dihadapi Indonesia karena tengkes juga merupakan persoalan global. Laporan dari World Health Organization pada 2020, menyebutkan sebanyak 49,2 juta anak di bawah 5 tahun terlalu pendek untuk usianya (stunting), 45,4 juta terlalu kurus untuk tinggi badannya (wasting), dan 38,9 juta terlalu berat untuk tinggi badannya (overweight).

Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan pada 2022, menyebutkan prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 21,6 persen, yang mana mengalami penurunan jika dibandingkan SSGI 2019 dan 2021 dengan prevalensi balita stunting yakni 27,7 persen dan 24,4 persen.

Stunting perlu mendapatkan perhatian yang serius karena memiliki efek jangka pendek dan juga jangka panjang. Jangka pendek mulai dari perkembangan kognitif, motorik, verbal tidak optimal, hingga daya tahan tubuh menurun. Sementara jangka panjang yakni risiko penurunan prestasi akademik, peningkatan risiko obesitas, kerentanan terhadap penyakit tidak menular, dan risiko penyakit degeneratif.

Anak yang mengalami stunting di bawah 2 tahun, menurut sejumlah penelitian, memiliki kondisi emosional dan perilaku yang lebih buruk pada masa remajanya. Permasalahan stunting juga dapat menjadi penyebab rendahnya kualitas sumber daya manusia yang berdampak pada pengembangan potensi bangsa.

Oleh karena itu, pemerintah mengambil langkah tegas untuk menurunkan stunting. Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan tengkes hingga 14 persen pada 2024. Meski demikian, perlu diingat bahwa penurunan kasus tengkes bukan hanya terpaku pada penurunan angka-angka saja. Aspek penyuluhan juga jangan dilupakan.

Segenap orang tua menginginkan anaknya tumbuh sehat dan cerdas. Akan tetapi tak semuanya bisa mendapatkan paparan informasi yang tepat bagaimana pola pengasuhan anak yang tepat. Dalam hal ini, penyuluhan memiliki peranan penting.

Penyuluhan sebagai upaya pendidikan non formal dilakukan secara sistematik, terencana dan terarah, serta memiliki tujuan untuk mengubah perilaku seseorang.

Diharapkan dengan adanya edukasi yang dilakukan secara berkelanjutan melalui penyuluhan, para calon ibu maupun orang tua dapat memahami bagaimana pola asuh yang baik dalam pencegahan tengkes.

Penyuluhan tentu saja tak bisa lepas dari peran media massa sebagai sarana diseminasi informasi pada khalayak. Penyuluhan dapat menggunakan media cetak (brosur, koran, majalah, pamflet) dan media elektronik (televisi, internet, kaset, radio, dan lainnya). Media baru seperti media sosial juga dianggap efektif dalam kegiatan penyuluhan karena dapat menjangkau khalayak yang lebih luas.

Mungkin juga sudah saatnya narasi terkait pencegahan stunting di media massa, tak hanya sebatas upaya yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam penurunan kasus tengkes.

Akan tetapi narasi-narasi yang mendidik, bagaimana pola pengasuhan anak, menjaga kesehatan ibu hamil, hingga bagaimana pemberian nutrisi yang tepat pada anak sehingga para orang tua mendapatkan pencerahan dari produk media yang ada.

Bukankah anak yang tumbuh sehat dan cerdas merupakan impian segenap orang tua? Anak yang tumbuh sehat dan cerdas pula, merupakan aset bagi masa depan bangsa karena mereka kelak memiliki daya saing tinggi dan dapat berkompetisi dengan bangsa lainnya.

Bonus demografi bisa memberi keuntungan besar bagi bangsa bila mampu memanfaatkan dengan optimal. Melahirkan generasi sehat dan cerdas merupakan syarat guna mewujudkan  Indonesia Emas 2045.***



 

 

 

Copyright © ANTARA 2023