JAKARTA (ANTARA) - Masa bocah adalah periode paling indah dalam perkembangan kehidupan manusia yang membuat banyak orang ingin bertahan berlama-lama berada di fase serba polos itu. Mereka yang kadang merasa lelah menjalani peran menjadi orang dewasa, mencoba berlari mencari keriangan dengan meniru laku anak-anak dalam bermain atau menikmati hiburan.

Apakah anda orang dewasa yang masih menggemari film kartun semacam Doraemon, Upin Ipin, Crayon Shinchan, atau hobi mengoleksi mainan anak-anak dan memperoleh kesenangan saat memainkannya? Fixed, anda terdeteksi sebagai pengidap kidult.

Penelitian di Institute of Cognitive Neuroscience di London menyatakan secara umum zona nyaman perkembangan kehidupan manusia itu ada pada masa kanak-kanak dan masa kanak-kanak itu identik dengan mainan.

Menjadi kidult, bukanlah perbuatan "dosa" bagi orang dewasa, sehingga tidak usah merasa bersalah, apalagi malu, karena yang berperilaku seperti itu banyak jumlahnya. Dan menurut sebagian besar psikolog, perilaku kidult terbilang, wajar kecuali menunjukkan gejala lain yang lebih kompleks yang mengindikasikan adanya kelainan, semisal menyerupai sifat balita.

Melakoni peran menjadi manusia dewasa mungkin melelahkan, karena banyak hal yang perlu dipikirkan, segudang beban yang harus ditanggung, dan sejumlah masalah yang mesti diselesaikan. Tatkala rasa lelah mendera, kehidupan anak-anak dengan segala keseruannya tampak begitu menggoda. Jangan menahan diri (karena gengsi) untuk turut larut dalam kegembiraan itu.

Psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener mengungkapkan bahwa seiring manusia bertumbuh dewasa, pasti selalu ada sisi anak-anak dalam jiwanya. Penyebabnya bisa beragam, mulai dari keinginan bernostalgia, kebutuhan bermain sebagai mekanisme koping, hingga regresi.

Maka fenomena kidult, menurut dia, terbilang wajar saja asal bisa menyeimbangkan tanggung jawab dan kewajiban sebagai orang dewasa.

Sementara sebuah studi dari Journal of the Korean Society yang dibuat Ji Ha-cha dan Keum Hee-hong menyebutkan, kidult bukan sekadar fenomena membeli barang anak-anak, tapi lebih jauh melibatkan perasaan keterikatan dengan produk yang telah mereka gunakan di masa kecilnya.

 

Tentang kidult

Fenomena ini diperkenalkan oleh seorang psikolog Jim Ward-Nichols dari Steven Institute of Technology, New Jersey, Amerika Serikat. Kidult merupakan akronim dari kata kid dan adult.

Meski populer pada medio 1980-an, namun sejumlah penelitian mengungkap bahwa fenomena kidult sebenarnya sudah ada sejak 1960-an, dengan indikasi banyaknya orang dewasa yang masih tinggal bersama orang tuanya atau "menolak untuk dewasa".

Padahal di negara Paman Sam itu sudah menjadi tradisi bahwa mereka akan meninggalkan rumah orang tua ketika mulai masuk bangku kuliah, untuk selanjutnya belajar hidup mandiri. Namun kala itu, jumlah orang dewasa di atas usia 26 tahun yang masih tinggal bersama orang tuanya meningkat dari 11 persen pada 1970 menjadi lebih dari 20 persen di tahun 2005.

Dalam perkembangannya arti kidult menjadi semakin luas dengan tanda-tanda, seperti terangkum berikut.

Indikasi kidult:

- Menyukai hiburan anak. Membaca komik, menonton film kartun, atau membeli mainan anak-anak. Mungkin anda banyak menjumpai orang-orang dewasa yang melakukan hal itu. Bahkan sejumlah artis Tanah Air juga sering membagikan momen saat bersenang-senang dengan koleksi mainannya.

Seperti aktor Junior Liem yang mengoleksi ratusan mainan jenis Funko Pop dengan berbagai karakter yang biasa disebut sebagai vinyl figure. Ada pula Marcelino Lefrandt yang terkenal sebagai kolektor action figure karakter Superman. Ia memiliki mainan itu dalam berbagai kostum dan ukuran, selain juga mengoleksi robot Gunpla dari anime Jepang ‘Gundam’.

Kemudian penyanyi Ariel NOAH yang terkenal dengan koleksi motor gedenya ternyata juga penyuka robot Gunpla. Dia sering merakit sendiri action figure Gunpla hingga mewarnainya sesuai keinginan. Dan masih banyak selebritas lain yang mencari kesenangan dengan mengumpulkan mainan anak-anak.

- Permainan kostum (cosplay). Hobi mengenakan pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng, permainan video, penyanyi dan musisi idola, serta film kartun. Komunitas cosplay ini telah menjamur di berbagai negara, juga di Indonesia. Mereka juga aktif menggelar acara untuk menunjukkan eksistensinya.

- Jalan-jalan tanpa tujuan. Berhura-hura dengan jalan-jalan, menghambur-hamburkan uang untuk bersenang-senang tanpa tujuan. Tidak berpikir tentang menabung dan investasi untuk mempersiapkan kehidupan masa depan.

- Tinggal bersama orang tua. Sudah berusia dewasa, tapi masih betah tinggal di rumah orang tua, bahkan hingga telah menikah. Bukan tidak mampu membeli rumah, tapi enggan meninggalkan kenyamanan menikmati perlindungan dan perhatian orang tua.

- Menghindari komitmen. Tidak lekas menikah, meski sudah berusia matang hanya karena senang dengan kebebasan dan menghindar dari keterikatan sebuah komitmen. Komitmen dianggap sebagai beban tanggung jawab, sedangkan dia tidak ingin menanggung beban itu.

Tangkapan layar dari akun media sosial, penampilan para cosplayer dalam berbagai karakter anime. ANTARA/Sizuka
Dendam masa kecil

Alasan umum yang paling sering dituduhkan kepada para kidult adalah dendam masa kecil atau karena masa kecil kurang bahagia. Padahal tidak sepenuhnya begitu, banyak faktor lain yang menyebabkan seseorang menjadi kidult, berikut beberapa di antaranya.

Penyebab kidult:

- Dimanja orang tua. Memiliki orang tua kaya raya dengan harta tak terkira jumlahnya membuat anak terbiasa hidup manja. Tanpa dikenalkan arti sebuah tanggung jawab dan konsekuensi, sikap manja akan keterusan hingga anak menginjak dewasa. Hanya usia yang bertambah, tidak dibarengi dengan kedewasaan, melainkan nyaman bertahan dengan sifat kekanak-kanakan.

- Kuatnya kekerabatan. Meski orang tua tidak memanjakan, namun kuatnya sifat kekerabatan masyarakat Indonesia membuat banyak orang yang telah berusia dewasa tidak lekas mencapai kemandirian. Itu karena setiap kali ada anggota keluarga mendapat kesulitan, segenap kerabat pasti menolongnya, sehingga mereka tidak teruji menghadapi situasi sulit.

- Takut tanggung jawab. Terbiasa manja sedari kecil pada gilirannya membuat seseorang takut mengambil tanggung jawab. Dia lantas malas menjadi dewasa karena berbagai tanggung jawab yang menyertainya.

- Dendam masa kecil. Memiliki obsesi di waktu kecil untuk memiliki suatu mainan, namun belum terpenuhi, kadang orang melampiaskan hasrat untuk mendapatkan mainan itu ketika dewasa. Mencapai kemapanan, mempunyai banyak uang, membuat obsesi masa kecil dulu lebih mudah untuk diwujudkan. Mengoleksi banyak mainan menjadi cara membayar kompensasi masa kecil.

- Nostalgia. Masa kecil menjadi momen yang sering dirindukan orang karena dianggap sebagai periode kehidupan paling menyenangkan. Barang yang menandai kehidupan anak-anak adalah mainan. Sehingga seseorang kembali membangun romansa masa bocah dengan bermain dan menyukai hiburan anak.

- Mekanisme koping. Mencari kesenangan dengan menikmati hiburan ala anak-anak menjadi salah satu cara menghilangkan stres. Mungkin beban kerja sehari-hari begitu melelahkan, sehingga seseorang perlu melepaskan penat dengan bermain.

 

Jadi bocah

Tak ada yang salah dengan perilaku kidult sepanjang masih dalam takaran wajar. Membahagiakan diri adalah hak semua orang asal tidak menyimpang. Namun, kidult berkelanjutan dalam realitas kehidupan di masyarakat dapat mengganggu banyak hal berkenaan dengan peran dan tanggung jawabnya sebagai manusia dewasa.

Sebagai sarana mencari kegembiraan, kidult berdampak positif. Akan berefek negatif bila pemenuhan hobi itu membuat lalai terhadap kewajiban dan kebutuhan prioritas yang lain.

Lagi pula menjadi kidult tidak perlu mendalami peran terlalu dalam. Selain dapat terjerembab pada fantasi dunia anak, juga menimbulkan sak wasangka bahwa masa kecil anda kurang bahagia. Jangan khawatir, rasa bahagia bisa diperoleh dalam usia berapa saja, tidak harus menyaru menjadi bocah.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023