... akan laku keras pada masa kini dan pada masa depan karena kualitasnya nomer wahid... "
Jakarta (ANTARA News) Kota adalah pusat peradaban, dan pada dirinya melekat nilai, apakah itu nilai social, nilai lingkungan kebudayaan dan social, dan nilai kemanusiaan. 

Ketika pertanyaan how to sale the city (bagaimana [cara] menjual kota) muncul dalam benak penulis, yang terpikir adalah jangan-jangan kota hanya dijadikan media bertransaksi bisnis semata.

Cuma sekedar tentang bagaimana menjual sebidang lahan dan setetes air yang bisa dimanfaatkan calon investor, apakah untuk kepentingan pembangunan properti atau untuk kepentingan lain atas nama kemajuan daerah.

Menjadi kepikiran juga, manakala konsep dasar how to sale the city, sangat khawatir jika kandungannya hanya  menjadikan kota sebagai tempat "perburuan rente".  

Mudah-mudahan salah persepsi ini, meskipun boleh jadi hal yang seperti itu katanya memang terjadi. Jika premis ini bisa dibenarkan, maka apa  makna kota sesungguhnya dipandang para pengelolanya?

Jawabannya pasti mudah diperkirakan, yakni para pengelolanya memang belum  mampu memaknai apa peran kota  sebagai Tanah dan Air beta. Atau memang tidak mau peduli dengan hal-hal yang berkaitan penciptaan nilai, agar kota bisa menjadi "surga" bagi setiap mahluk di Bumi.

Para ahli planologi harusnya sangat faham tentang membuat konsep kota yang ideal. Tapi nampaknya tak berhasil. Yang kita lihat dan kita saksikan adalah kota telah menjadi "neraka" bagi kehidupan. Longsor, banjir, kebakaran terjadi dimana-mana. Binatang buas membaur dengan kehidupan manusia di tempat pemukimannya karena habitnya rusak.

Nilai kota dikorbankan habis-habisan karena dikalahkan ideologi kekuasaan dan kewenangan dan ideologi uang. Kota sebagai tanah dan air menjadi kering kerontang yang mengancam peradaban. Sadar atau tidak, kota mengalami degradasi nilai dasarnya akibat dekadensi dalam cara berfikir dan bertindak para pengelolannya.

Nah pada saat dinamika ekonomi telah bergeser begitu rupa, dimana faktor permintaan telah menjadi dewanya, maka kota yang telah berubah menjadi "neraka"; nilai jualnya menjadi rendah sekali. Rugilah kota itu, hancurlah nilai dasar kota sebagai pusat peradaban dan sebagai pusat keadaban, dan boleh jadi bisa "membangkrutkan" kota karena tanah dan airnya telah menjadi kering kerontang.

Oksigen yang sangat kita butuhkan sebagai sumber penghidupan menjadi barang yang bernilai sangat mahal. Terjadilah drama eksodus besar-besaran, karena mahluk hidup berimigrasi meninggalkan kota tanah airnya. 

Pandangan ilutif yang seperti ini sengaja penulis lemparkan ke ruang publik dengan harapan agar dapat memberikan inspirasi dan sekaligus motivasi kepada para pengelola kota menjadi "siuman" dan kemudian sadar bahwa kota sampai kiamat datang harus menjadi "surga" kehidupan di bumi, dan tak berkesudahan.

Bermimpilah setinggi langit, wahai para kepala daerah bahwa jawaban atas pertanyaan Bagaimana (Cara) adalah gampang saja konsepnya, yakni bangun dan rawat kota kita, jangan habiskan tanah dan air, karena kota sebagai Tanah Air beta adalah surga di dunia tempat kita hidup dan mahluk hidup yang lain.

Kota yang seperti ini yang akan laku keras pada masa kini dan pada masa depan karena kualitasnya nomer wahid, ketika dunia pariwisata telah menjadi dewa pertumbuhan ekonomi, setelah pangan dan energi. 

Yang kering, menyengat tandus cenderung tidak akan didatangi manusia manapun, kecuali kota suci Makkah dan Madinah tempat umat islam menjalankan ibadah umroh dan haji setiap tahun.

Bagaimana menjual-nya tidak usah repot-repot. Sebar saja di multi media dan manfaatkan karya peradaban, yakni kemajuan di bidang teknolgi informasi. Ciptakan film pendek tentang kotaku, sebagai tanggapan keperluan kedamaian dan kegembiraan. 

Selamat bekerja Pak Gubernur, Pak Wali Kota dan Pak Bupati untuk memuliakan kota Anda dan kota kita semua.

(*) pengamat industri

Oleh Fauzi Aziz (*)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2013