KPK sebenarnya punya kewajiban untuk melakukan pengadilan koneksitas
Makassar (ANTARA) - Deputi Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional (TI) Indonesia Wawan Suyatmiko mendorong kasus dugaan korupsi yang menyeret dua perwira TNI sebagai pimpinan di lembaga Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) dapat diadili melalui pengadilan koneksitas.

"Walaupun Pimpinan KPK sudah bertemu Panglima TNI, kita berharap pengadilan koneksitas dapat terbangun karena sudah ada tiga presedennya," ungkap Wawan saat pertemuan konsolidasi masyarakat sipil anti-korupsi di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.

Ia menjelaskan, tiga preseden kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan TNI, sebut dia, seperti kasus pengadaan Helikopter AW-101 tahun 2015-2017, kasus korupsi pengadaan perangkat transportasi informasi terintegrasi/Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI tahun 2016 dan terakhir kasus dugaan korupsi di lembaga Basarnas.

"Sebenarnya kita masih punya harapan untuk kasus korupsi di peradilan umum dan bisa kita tarik. Alasannya, pada kasus helikopter, faktanya tersangka dari pihak swasta dihukum penjara tapi dari pihak oknum TNI bebas. Kemudian kasus Bakamla terkait penyuapan, dan ini kita khawatirkan kasus Kabasarnas ini," ujarnya.

Menurut dia, Basarnas adalah merupakan lembaga sipil yang diisi orang militer di jajaran pimpinan. Bila bicara terkait Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata dia, itu adalah lex spesialis atau memiliki ketentuan khusus.

Baca juga: Puspom TNI dan KPK geledah Kantor Basarnas usut kasus suap Kabasarnas
Baca juga: Panglima: TNI siap dievaluasi soal pengisian jabatan publik


"Artinya, KPK punya kekhususan. KPK sebenarnya punya kewajiban untuk melakukan pengadilan koneksitas, itu tidak pernah dilakukan sampai saat ini," tutur wawan.

Selain itu dalam Undang-undang KPK nomor 31 tahun 1997 pada pasal 42 disebutkan kewenangan untuk mengkoordinasikan, mengendalikan penyelidikan, penyidikan, sampai penuntutan. Sedangkan koneksitas adalah prosedur penanganan suatu perkara mencakup dua lembaga peradilan, sipil dan militer.

Begitu pula pada Undang-undang nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga diatur dalam hal penanganan khusus tindak pidana korupsi.

"Artinya, KPK itu juga berhak untuk mengusut kasus korupsi yang ada, baik itu peradilan umum maupun militer, tapi itu split (dipisah). Dan ini pengalaman ketiga KPK mengusut korupsi yang aktornya oknum TNI," ungkap dia.

Tim Percepatan Reformasi Hukum Menkopolhukam Dadang Trisasongko dalam pertemuan tersebut menambahkan, reformasi di tubuh TNI dan kejaksaan yang membuat KPK kalang kabut, karena reformasi di sekitarnya ini tidak jalan.

"Dalam situasi fight ini leadershipnya harus kuat. Ibaratnya, reformasi itu besi di awal masih panas masih bisa dibengkok-bengkokkan. Kalau sekarang sudah susah," katanya menambahkan.

Sebelumnya, penetapan status tersangka Kepala Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Kabasarnas) Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi (HA) dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm. Afri Budi Cahyanto (ABC) oleh KPK menjadi polemik namun belakangan meminta maaf dengan beralasan salah prosedur mengingat keduanya masih aktif sebagai anggota TNI.

Perkara ini kemudian diambil alih Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI untuk ditangani lebih lanjut dan selanjutnya menetapkan keduanya sebagai tersangka kasus suap dalam pengadaan alat-alat di Basarnas.

Komandan Puspom TNI Marsekal Muda TNI Agung Handoko saat jumpa pers di Mabes TNI, Jakarta, Senin, bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, menjelaskan penetapan tersangka dua perwira aktif TNI itu berdasarkan hasil pemeriksaan kepada mereka dan para saksi dari pemberi suap.

Baca juga: Panglima tegaskan tak ada impunitas di TNI termasuk untuk HA dan ABC
Baca juga: KPK fasilitasi Puspom TNI periksa 3 tersangka kasus suap Kabasarnas

Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2023