Padang (ANTARA) - Pemerintah Indonesia terus berupaya melakukan percepatan pengembangan energi baru terbarukan atau yang biasa disingkat EBT. Upaya tersebut merupakan amanat yang harus direalisasikan Indonesia sebagaimana rencana umum energi nasional (RUEN) sebesar 23 persen pada 2025.

Tidak hanya pemerintah atau kementerian terkait, masyarakat hingga perguruan tinggi juga dituntut secara bertahap untuk mulai beralih kepada penggunaan EBT guna mewujudkan kemandirian energi nasional.

Ialah Supriadi Legino, salah seorang pendiri serta pencetus pengembangan EBT di Tanah Air. Ia pernah turut ambil bagian sebagai Dewan Juri Indonesian Best Electricity Award (IBEA) yang diselenggarakan pada 2018.

Supriadi merupakan bagian atau personel dari perusahaan rintisan di Jakarta yang pertama kali menggunakan metode bernama teknologi olah sampah di sumbernya (TOSS) dalam pengembangan EBT.

Dalam mengoptimalkan TOSS, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut terinspirasi dari satu ayat dalam Al Quran, tepatnya Surah Yasin Ayat 80 yang artinya, "Yaitu (Allah) yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau, maka seketika itu kamu nyalakan (api) dari kayu itu".

Benar saja, firman dalam ayat tersebut tidak hanya membuat TOSS berkembang di ibu kota, melainkan berdampak pada munculnya beberapa kerja sama pengembangan TOSS di berbagai daerah, termasuk melalui perguruan tinggi.

Salah satunya yang fokus pada pengembangan dan pengolahan EBT tersebut ialah Universitas Andalas (Unand) yang berada di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat.

Perguruan tinggi pertama di luar Pulau Jawa itu memulai pengembangan EBT pada Februari 2023, tepatnya setelah menandatangani kerja sama dengan perusahaan rintisan yang pertama kali menerapkan metode TOSS dalam hal riset, pengembangan dan pengolahan sampah menjadi sumber energi.

Kini, Unand telah mengembangkan EBT menjadi sumber energi alternatif bagi industri sekelas PT Semen Padang yang merupakan perusahaan semen tertua di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.

Menilik perguruan tinggi negeri itu lebih lanjut sebagai kampus hijau yang berada di lokasi perbukitan, institusi pendidikan ini dikenal sebagai salah satu kampus terasri di Ibu Pertiwi sebab keberadaannya yang dikelilingi pepohonan hijau serta rindang.

Sebelum ini, daun-daun kering, termasuk ranting pohon yang berjatuhan di lingkungan kampus, dikumpulkan oleh para petugas kebersihan untuk dibawa ke tempat pengolahan sampah.

Dedaunan kering berserta ranting kayu tersebut diolah menjadi pupuk kompos yang berguna bagi petani. Namun, proses pembuatan kompos sempat terkendala pasokan kotoran sapi yang merupakan bahan pendukung dari pembuatan pupuk organik.

Berangkat dari permasalahan itu, departemen teknik lingkungan, fakultas teknik kampus itu mencoba mengolah daun-daun kering menjadi bahan bakar alternatif hingga akhirnya digunakan oleh PT Semen Padang, salah satu perusahaan di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sejak dimulai pada Februari 2023, Unand sudah berhasil mengolah kurang dari lima ton daun maupun ranting kayu menjadi bahan bakar alternatif.

Hebatnya, dedaunan kering tersebut ternyata mampu mengurangi persentase penggunaan batu bara yang selama ini menjadi sumber energi utama dari PT Semen Padang dalam menjalankan produksinya. Kendati belum sepenuhnya mampu menggantikan batu bara, namun hal itu rupanya telah menjadi langkah besar untuk menyelamatkan Bumi dari dampak perubahan iklim dan pemanasan global.

Koordinator bidang Energi dan Perubahan Iklim Tim Green Campus Unand Fadjar Goembira mengatakan berdasarkan hasil uji laboratorium PT Semen Padang, hasil olahan sampah organik yang dikerjakan kampus itu sudah memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan perusahaan semen tersebut.

"Pada dasarnya, semua (sampah organik) yang terkumpul bisa diolah dengan teknologi TOSS ini," kata Fadjar yang juga merupakan salah satu dosen di departemen teknik lingkungan.

Terkait pengolahan daun-daun kering maupun ranting kayu, pada dasarnya hal itu dilakukan dengan cukup sederhana. Daun yang telah dikumpulkan dicacah menggunakan mesin pencacah hingga halus atau berukuran kecil.

Kemudian, daun dan ranting pohon disimpan di sebuah wadah khusus berbentuk kubus yang terbuat dari anyaman bambu (biodrying) berukuran 1,5 meter persegi. Untuk satu kotak mampu menampung sekitar 100 kilogram (kg) sampah yang sudah dicacah.

Sampah yang masih menyimpan kandungan air tersebut dikeringkan dengan metode bioaktivator, yakni proses pengeringan akibat adanya aktivitas mikroganisme.
 
Salah seorang petugas pusat studi lingkungan hidup (PSLH) Unand menyiram tumpukan sampah organik dengan bioaktivator yang akan diolah menjadi energi baru terbarukan di Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Kamis (3/8/2023). ANTARA/Muhammad Zulfikar. (3/8/2023). ANTARA/Muhammad Zulfikar/aa.
Setiap 20 centimeter (cm) ketebalan sampah dalam biodrying harus disiram dengan bioaktivator untuk mempercepat proses pengeringan.

Selanjutnya, untuk pengeringan sendiri memakan waktu lima hingga tujuh hari. Setelah itu, sampah kering tersebut siap digunakan sebagai bahan bakar alternatif oleh PT Semen Padang.

Berdasarkan hasil uji laboratorium PT Semen Padang, nilai kalori dari pembakaran sampah organik tersebut ialah antara 3.000 hingga 3.200 per gram.

Selain di kampus tersebut, teknik pengolahan sampah organik menggunakan metode TOSS juga berhasil dikembangkan oleh salah satu desa di Denpasar, Bali. Bahkan, pengolahan itu sudah menghasilkan nilai ekonomis dengan nilai jual produk Rp1.500 per kg.

Fadjar yang juga merupakan Kepala Laboratorium Kualitas Udara sekaligus Dewan Pakar Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Unand itu mengatakan pengolahan sampah organik menggunakan metode TOSS menjadi salah satu harapan besar untuk mencapai kemandirian energi nasional.

Sebab, jika dapat dilakukan secara masif dan berkelanjutan, maka penggunaan batu bara yang selama ini menjadi sumber energi berbagai industri di Tanah Air memungkinkan untuk bisa disubstitusi secara perlahan.

Energi ini lebih ramah lingkungan. Sementara pembakaran batu bara itu menjadi penyebab pemanasan global.


Tungku biomassa

Selain mengolah dan mengembangkan EBT berbahan baku daun dan ranting pohon, departemen teknik lingkungan juga menciptakan tungku biomassa yang dapat dijadikan sebagai bahan bakar alternatif penggunaan gas elpiji hingga kayu bakar yang sampai saat ini masih digunakan masyarakat, terutama di daerah perdesaan.

Berdasarkan pengujian di lapangan, penggunaan tungku biomassa jauh lebih hemat jika dibandingkan dengan tungku yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar utama. Sebab, bahan bakar yang digunakan kompor biomassa hanyalah pelet yang terbuat dari kayu.
 Dua mahasiswa Unand memasak rendang menggunakan kompor biomassa yang diciptakan Teknik Lingkungan Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Kamis (3/8/2023). ANTARA/Muhammad Zulfikar. (3/8/2023). ANTARA/Muhammad Zulfikar/aa.
Lahirnya ide pembuatan kompor biomassa, salah satunya untuk menyasar masyarakat atau pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang selama ini masih bergantung atau mengandalkan kayu sebagai bahan bakar utama.

Berdasarkan hasil pengujian di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, dengan melibatkan langsung masyarakat yang biasanya menggunakan kayu untuk memasak rendang, diketahui bahwa mereka mengaku lebih hemat saat menggunakan kompor biomassa dengan bahan baku pelet.

Sayangnya, saat ini khusus di Sumatera Barat belum ada satupun industri yang memproduksi pelet dari kayu maupun sampah residu biomassa sebagai bahan bakar utama kompor biomassa tersebut. Unand sendiri sedang dalam tahap menuju pembuatan, namun masih terkendala sarana dan prasarana.

Selain pinus dan ranting kayu, kaliandra merah (calliandra calothyrsus) juga menjadi tanaman yang tergolong bagus atau berkualitas untuk dijadikan bahan baku pembuatan pelet itu. Kaliandra ini sangat bagus karena nilai kalorinya sangat tinggi.

Ke depan, tanaman asal Meksiko tersebut mempunyai potensi besar untuk dijadikan sebagai EBT, termasuk pembuatan pelet, yang digunakan untuk bahan bakar kompor biomassa.

Dari 1 kg pelet yang dimasukkan ke dalam kompor biomassa bisa digunakan untuk menyalakan api selama satu jam. Setelah pelet habis, arang dari sisa pelet dapat kembali digunakan sebagai bahan bakar, misalnya untuk membakar ikan, sate serta makanan lainnya.

Tidak hanya itu, arang tersebut juga bisa digunakan sebagai penjernih air hingga amelioran tanah atau bahan yang dapat meningkatkan kesuburan tanah.

Bahkan di Bangladesh, arang atau sisa pembakaran pelet tersebut telah dikomersialkan dalam skala besar kepada petani di negara itu.

Secara umum, berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumatera Barat, Ranah Minang memiliki potensi EBT yang besar untuk dikelola sebagai keberlangsungan energi di Tanah Air.

Bahkan, Sumatera Barat dapat dikatakan sebagai provinsi yang menjadi lumbung energi. Hal itu ditandai dengan energi air yang terdapat di darat maupun laut. Begitu pula dengan energi yang bersumber dari panas Bumi hingga energi biomassa.

Hanya saja, untuk mengembangkan beragam sumber energi potensial masih butuh komitmen dan upaya bersama dari berbagai pihak. Apalagi, saat ini pengolahan energi masih bersifat sporadis.

Beberapa waktu lalu, tokoh intelektual di bidang lingkungan hidup Prof Emil Salim menyarankan agar Sumatera Barat memanfaatkan kondisi geografisnya yang dilalui garis khatulistiwa untuk mengembangkan energi terbarukan.

Sumatera Barat dinilai sangat kaya dengan sinar matahari. Seharusnya ada forum yang memfasilitasi agar energi yang besar ini dimanfaatkan untuk energi masa depan negeri.


Kaliandra merah

Direktur Utama PT Semen Padang Asri Mukhtar Datuak Tumangguang Basa mengatakan tanaman kaliandra merah yang ditanam perusahaan itu sejak 2022 siap dijadikan sebagai substitusi energi batu bara.

Tumbuhan yang berasal dari Meksiko tersebut ditanam PT Semen Padang di area reklamasi bekas tambang dan mulai dipanen sejak Juni 2023. Rencananya, hasil panen kaliandra merah pada pertengahan Agustus mendatang akan diuji coba sebagai bahan bakar produksi semen di pabrik Indarung V.

Untuk tahap uji coba, PT Semen Padang akan menyiapkan sekitar 150 ton kaliandra.
Petugas memanen kaliandra merah yang akan diolah menjadi energi baru terbarukan di Padang. ANTARA/Arif Pribadi/aa.

Saat ini, perusahaan semen itu sedang gencar menanam kaliandra merah di lingkungan sekitar. Selain di area reklamasi bekas tambang batu kapur, PT Semen Padang juga menyiapkan sekitar 19 hektare (ha) lahan emplasemen perusahaan untuk ditanami tanaman berkalori tinggi tersebut.

Bibit kaliandra merah dibawa PT Semen Padang dari Sulawesi Selatan yang kemudian dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendukung pemerintah daerah dalam program pemberdayaan masyarakat di sekitar perhutanan sosial. Hal itu sejalan dengan program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang Pengembangan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).

Lebih lanjut, untuk menyemarakkan penanaman tanaman yang memiliki nilai kalori hingga 4.500 per gram itu, PT Semen Padang membagikan bibit gratis kepada masyarakat di beberapa titik, salah satunya di seputaran Danau Maninjau, Kabupaten Agam.

Selain ditargetkan untuk menyubstitusi penggunaan batu bara, kaliandra merah diketahui juga memiliki nilai ekonomis lain. Daun kaliandra merah bisa dijadikan sebagai pakan ternak yang berprotein tinggi antara 20-25 persen. Kemudian, bunganya dapat dimanfaatkan sebagai nutrisi untuk budi daya lebah madu.

Potensi lainnya, yaitu bagian ranting untuk dijadikan sebagai pelet serta sekaligus merupakan komoditas ekspor ke beberapa negara.

Sejalan dengan itu, Ketua Yayasan Hutan Lestari Indonesia (YHLI) Ardedi Tanjung bersama kelompok tani di sekitaran Danau Maninjau menyambut baik rencana penanaman kaliandra merah di areal perhutanan sosial seluas 500 ha.

Menurutnya, kaliandra merah merupakan tanaman ramah lingkungan dan cocok untuk ditanami di sekitar Danau Maninjau. Apalagi, tanaman tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama untuk dipanen.

Ada sekitar 500 ha lahan kosong di salingka (sekitaran) Danau Maninjau. Lahan ini yang akan dimanfaatkan untuk ditanami kaliandra merah.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023