JAKARTA (ANTARA) - Rasa malu, salah satu sifat manusia yang belakangan ini memudar, bahkan terancam sirna. Bukan isapan jempol belaka, tetapi tingginya angka korupsi, viralnya kasus-kasus asusila, atau sengitnya adu flexing di media sosial, cukuplah menjadi bukti bahaya punahnya rasa malu.

Pembangunan SDM, salah satunya bisa dilakukan dengan memupuk rasa malu agar tak banyak warga negara yang menjadi benalu, minim kontribusi dan malah menggerogoti negeri dengan aksi korupsi.

Selama memerintah hampir dua periode, Presiden Joko Widodo seringkali mengungkapkan rasa malunya atas kinerja para jajaran yang mengecewakan. Dalam beberapa kesempatan berbeda, Presiden terekam mengucapkan kata malu itu berkaitan dengan gaya kerja lama layanan keimigrasian. Dia juga geram dan malu dengan banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi, sementara kepala daerah yang lain tak mampu mengendalikan inflasi.

Hal lain yang membuat kepala negara malu dengan pihak luar adalah masalah kabut asap yang berulang dan berlarut-larut, serta sejumlah BUMN yang tidak merespons ketika Jokowi telah membukakan pintu kerja sama dengan negara lain.

Seandainya budaya malu diterapkan dalam kehidupan bernegara, mungkin Presiden tak perlu semalu itu menghadapi kenyataan bahwa kinerja para anak buahnya berkualitas rendah.

 

Tentang rasa malu

Hilangnya rasa malu menyumbang andil besar dalam kerusakan tatanan sosial hingga negara. Karena rasa malu merupakan benteng bagi seseorang untuk tidak berbuat menyimpang. Tetapi karena benteng itu telah rapuh sehingga banyak penyimpangan terjadi tanpa timbulnya rasa malu bagi pelakunya.

Dalam sejumlah literasi, semisal buku berjudul Shame: Theory, Therapy, Theology tulisan Stephen Pattison dan juga Shame: Exposed Self karya Michael Lewis, disebutkan bahwa malu identik dengan perasaan yang dialami Hawa di Surga ketika ia melanggar perintah Tuhan untuk tidak memakan buah khuldi. Pada saat itu, dikisahkan Hawa merasa malu karena dia sadar bahwa dirinya telanjang setelah melakukan perbuatan dosa, yaitu memakan buah khuldi yang dilarang oleh Tuhan.

Menukil laman resmi UIN Sunan Gunung Djati (SGD), Iu Rusliana, dosen Fakultas Ushuluddin (FU) pada perguruan tinggi negeri itu mengingatkan pentingnya memupuk dan menghiasi diri dengan rasa malu. Berusaha sekuat tenaga menghindari perbuatan tercela, dan berupaya menebar kebaikan.

Menurutnya, seseorang yang senantiasa memelihara dan menjaga rasa malu akan berhati-hati, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Juga selalu mempertimbangkan baik buruknya sesuatu dan berpikir sebelum bertindak.

“Perasaan malu selalu mendatangkan kebaikan,” kata Iu.

Dia pun memberikan sederet bukti bahwa rasa malu dan bersalah itu sudah menipis atau mungkin hilang, seperti maraknya korupsi, praktik kebohongan yang diproduksi dan dipublikasikan ke ruang media. Pun ramainya kasus kriminal, ada orang tua menghamili anaknya, anak membunuh orang tuanya, prostitusi online, pencurian, perampokan, pemerkosaan dan kejahatan lainnya merupakan contoh dari hilangnya rasa malu.

Pengertian malu (al-hayâ’) secara harfiah berarti menahan diri dari melakukan sesuatu dengan alasan takut akan celaan dari orang lain. Malu adalah salah satu akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan buruk dan menahan dirinya dari merampas hak orang lain.

Dalam agama (Islam) sifat malu ini terbagi dalam tiga macam, yakni:

1. Malu kepada Tuhan. Sifat malu paling berkelas karena berbasis keimanan. Pedoman yang digunakan adalah kitab suci atau dalam Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Indikasinya adalah benar-salah, halal-haram, perintah atau larangan agama. Manusia akan merasa malu bila melanggarnya, dengan atau tanpa dilihat manusia, karena urusannya langsung kepada Tuhan.

2. Malu kepada diri sendiri. Rasa malu yang ini berbasis hati nurani, berlandaskan naluri. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan dengan perangkat naluri yang baik, dan ia akan merasa malu ketika berbuat sesuatu yang melawan nurani. Malu pada kategori ini menggunakan indikasi baik-buruk. Orang yang melakukan hal buruk akan dihantui rasa malu pada diri sendiri.

3. Malu kepada sesama. Malu yang didasarkan pada pranata sosial, dengan indikasi kepantasan, yakni tentang pantas atau tidak pantas suatu perbuatan dilakukan. Jenis malu yang kali ini mudah dilanggar karena asal tidak ketahuan orang lain, seseorang tidak akan merasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas.

 

Yang pantas malu

Banyak terhampar contoh perbuatan memalukan namun tidak menjadikan pelakunya sebagai penyandang rasa malu. Perilaku memalukan itu melibatkan berbagai kalangan mulai pejabat pemerintah hingga anggota masyarakat. Berikut sejumlah contoh, yang diklasifikasikan berdasarkan subyek pelakunya.
 

Pejabat pemerintah/ASN

- Harta kekayaannya melonjak secara tidak wajar, anggota keluarganya menampilkan gaya hidup mewah. Setelah terendus KPK bahwa hartanya didapat secara tidak sah, berjibaku (tanpa rasa malu) membantah dan melakukan perlawanan terhadap aparat penegak hukum.

- Kepala daerah bergaya hidup borjuis, wajah glowing, penampilan seperti toko perhiasan berjalan, tetapi daerah yang dipimpinnya miskin, warganya kelaparan, jalanan rusak, jembatan dan gedung sekolah banyak yang ambruk.

- Memperoleh jabatan dari hasil menyuap, lalu mencari ladang korupsi selama menjabat untuk memperoleh kembali “modal” yang telah dikeluarkan. Pejabat seperti ini tak akan pernah melayani masyarakat karena disibukkan dengan misi modal kembali dan memperkaya diri.

- ASN bermental peminta-minta, setiap layanan yang diberikan harus membuahkan imbalan. Dia akan bekerja sekenanya bila tak ada iming-iming uang “terima kasih”. Baginya tak memiliki harga diri bukan masalah, yang penting isi kantong sejahtera. Gaji dianggapnya tak seberapa sehingga harus mencari peluang cuan sebanyak-banyaknya dari tugas yang dia kerjakan.

- ASN sebagai abdi negara, hidupnya dibiayai dengan anggaran negara, tapi bukan membalasnya dengan kontribusi positif malah menjadi benalu yang menggerogoti keuangan negara. Apakah tidak berpikir bagaimana jika negara mengalami kebangkrutan akibat ulahnya.

Warganet

- Pamer perhiasan emas bahkan sepulang dari ibadah haji, pamer hamparan uang yang sedang dihitung para petugas bank yang didatangkan ke rumah, tas terbuat dari emas, barang-barang merk mahal, dan memamerkan segala macam yang dikiranya mampu menaikkan gengsi.

- Mempertontonkan kebodohan, berkomentar lantang atas hal yang tak diketahui secara pasti, atau heboh mengomentari suatu isu yang sebenarnya tidak dikuasai dalam keterbatasan kapasitas pengetahuan dan wawasannya, bergunjing, mengumbar aib, menipu, serta menjual diri di dunia virtual.

- Menyebar konten secara bebas tanpa mengindahkan etika, dampak, dan risiko. Setelah ditangkap aparat baru membuat video pernyataan maaf, tapi konten negatif itu telah telanjur menyebar luas.

Warga negara

- Sibuk melontarkan kritik kepada Pemerintah tanpa berkaca apa kontribusi yang telah dia berikan kepada negara. Seringkali kritik asal bunyi tanpa pemahaman yang cukup atas permasalahan yang diributkan.

- Menjalani gaya hidup tidak sehat namun saat jatuh sakit meminta Pemerintah yang membiayai pengobatan melalui BPJS. Seperti orang yang merusak paru-parunya dengan kebiasaan merokok.

- Bapak-bapak yang membelanjakan uangnya untuk membeli rokok atau pulsa berlebihan,  sementara anak istri makan dari dana bansos.

- Ibu-ibu yang menggunakan uang belanja untuk membeli produk perawatan wajah (skincare) tapi anak-anaknya mengalami kurang gizi atau stunting dan menjadi beban pemerintah.

- Membiayai gaya hidup dengan cara berutang, sementara kebutuhan dasar terabaikan, termasuk biaya pendidikan anak-anak yang kemudian memanfaatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP).

- Hidup berkecukupan tapi menyamar menjadi warga miskin demi menikmati berbagai program bantuan sosial.

Konon, Tuhan pun memiliki sifat malu. Seperti disabdakan Nabi Muhammad Saw., "Sesungguhnya Allah memiliki sifat Maha Pemalu, Dia akan teramat merasa malu bila seseorang (berdoa) dengan mengangkat kedua tangannya lalu dikembalikan keduanya dalam keadaan hampa."

Dalam bahasa Inggris ashamed atau malu diartikan dengan troubled by guilty feeling atau merasa terganggu oleh adanya rasa bersalah.

Bila seseorang tidak merasa terganggu saat melakukan kesalahan apalagi kesalahan yang dapat berdampak pada rakyat banyak, mungkin harus memeriksakan kadar keimanan dan kesehatan hati nuraninya.

Bayangkan jika budaya malu tumbuh baik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, niscaya misi mewujudkan Indonesia Maju akan selangkah lebih mudah.

Akan tetapi, “Jika kamu tidak memiliki rasa malu, berbuatlah sesukamu,” (HR. Bukhari).




 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023