Pekanbaru (ANTARA) - Aan Sentosa mengaku lega setelah mengikuti Upacara Kemerdekaan ke-78 RI di Pekanbaru, Kamis (17/8/2023). Ia merasa lebih mencintai NKRI dan merasa lebih dekat dengan masyarakat serta pejabat di Pemerintah Provinsi Riau.

"Tahun ini lebih membangkitkan jiwa kebangsaan dan NKRI di dalam darah saya. Banyak pelajaran yang diambil, seperti lebih dekat dengan gubernur dan membuat saya kembali. Saya kembali ke jati diri kemerdekaan," aku pria 40 tahun ini saat berbincang dengan ANTARA.

Aan Sentosa adalah salah satu mantan narapidana kasus terorisme di Riau yang kini telah selesai menjalani masa hukumannya.

Aan berurusan dengan penegak hukum karena terlibat penyerangan Mapolda Riau di Kota Pekanbaru pada Mei 2018. Saat itu Mapolda Riau yang berada di Jalan Gadjah Mada diterobos empat orang menggunakan mobil dan melukai sejumlah polisi. Tiga pelaku bersenjata samurai tewas ditembak mati polisi, satu lainnya ditangkap.

Berdasarkan penyelidikan, akhirnya ditangkap lagi beberapa orang terkait penyerbuan Mapolda Riau itu. Satu di antaranya adalah Aan Sentosa, termasuk beberapa pemuda lainnya.

Aan mengaku saat ini telah kembali ke jati dirinya sebagai warga Merah Putih dan merasa bertanggung jawab atas kesalahan yang dulu dilakukan, serta siap untuk memberikan saran dan berkontribusi dalam upaya pemerintah memerangi paham radikalisme di masyarakat.

Pria yang dulunya dikenal dengan panggilan Aan Tempe ini mengaku mulai mengenal paham radikalisme sejak 2014 melalui kajian-kajian keagamaan. Pada 2013, paham radikalisme sudah pernah disampaikan kepada dirinya, namun belum nyambung dan belum bisa diterimanya. Selang setahun, ia mulai rutin diajak berkumpul bersama lewat kegiatan-kegiatan keagamaan.

Awalnya, ia mengikuti kajian keagamaan dengan harapan agar menjadi sosok manusia yang lebih baik. Ia pun sering ikut berjamaah dan kumpul bersama. Sampai akhirnya ia merasa cocok, dan bersama-sama mengamalkan ibadah yang populer disebut sebagau sunah. Ia pun mulai terbiasa untuk bergabung bersama jamaah lainnya.

Cerita masuknya Aan dalam kelompok teroris ini diharapkan menjadi pegangan bagi semua kalangan agar tidak mudah hanyut dalam ajakan belajar agama kepada guru atau kelompok yang belum jelas paham dan dasar keilmuannya. Hal ini penting diketahui agar masyarakat, khususnya kaum muda, agar tidak mudah terjebak dalam pengaruh yang mereka tebarkan.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya Aan diajak pertemuan dalam pengajian yang membahas lebih dalam terkait banyak hal, termasuk paham-paham tentang jihad dan segala macamnya.

Karena banyaknya ilmu yang telah diterima, Aan mulai menerima apapun yang disampaikan dalam kajian agama itu, dari pengamalan-pengamalan dasar, hingga masuk ke bab jihad. Di situ ia mulai dikenalkan pada istilah "thagut", yang bermakna sebagai setan atau berhala. Ia juga mulai mengenal pemahaman mengenai khilafah.

Ketika belajar mengenai paham khilafah ini, ia mendapat pemahaman yang mengharuskan pengikutnya mengamalkan syariat atau hukum dari Allah, dan bukan hukum manusia. Aan mulai diajak untuk mengingkari hukum yang bukan berasal dari Tuhan, yang dalam paham mereka tidak sesuai menurut Al Quran dan sunah.

Hingga masuk semakin dalam, pada tahun 2015, disampaikan dalam jemaah bahwa ada negara yang menegakkan hukum syariah khilafah, yakni ISIS yang bermarkas di Timur Tengah. Pengajian yang diikuti oleh Aan mulai ke paham khilafah dan mengajak pengikutnya agar berhijrah. Untuk itu, kita harus mempersiapkan fisik dan mental.

Setelah semakin dalam berlatih dan mengikuti jamaah, mulai timbul pertanyaan dalam diri Aan, lebih tepatnya kebimbangan. Ia justru merasa semakin tidak mendapatkan pertolongan dari Allah dan menemukan jalan buntu. Karena itu, Aan menolak untuk dibaiat sebagai bagian dari ISIS.

Meskipun menolak, Aan tetap berkecimpung dalam kelompoknya. Sehingga pada 2018, saat terjadinya penyerangan Mapolda Riau di Pekanbaru, dia turut diamankan karena menjadi orang yang mendukung segala bentuk radikalisme dan berperan sebagai pelatih para pelaku teror yang menyerang markas kepolisian di ibu kota Provinsi Riau tersebut.

Diungkapkan Aan, setelah diamankan dan menjalani masa hukuman di Lapas, ia merasa dirinya sadar bahwa yang dilakukan itu salah dan telah membenarkan ilmu yang sebelumnya ia pelajari secara individu tanpa bertanya dan meminta saran dari guru-guru lain. Ia menyadari kehadiran negara lewat program deradikalisasi di lapas itu yang menyadarkan paham keagamaan yang lebih moderat.

Di peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia kali ini, Aan mengajak kepada masyarakat yang saat ini sedang terpapar agar bisa membuka diri dan bisa mengubah pandangan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ia juga meminta para pengikut paham teroris itu lebih membuka diri dan mendewasakan cara berpikir dalam beragaman, sehingga memiliki pandangan yang luas mengenai NKRI dan kesadaran mengenai Bhineka Tunggal Ika yang sudah ditakdirkan oleh Allah.

Aan dan sejumlah mantan narapidana kasus terorisme kini kerap bersinergi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk memberikan pemahaman dan sosialisasi bahaya paham radikal kepada masyarakat.

Tak dipungkiri, paham radikal saat ini masih ada di tengah masyarakat. Kasus teranyar adalah ditangkapnya oknum pegawai PT KAI yang diduga terkait terorisme internasional.

Di momen hari kemerdekaan ini, sudah saatnya masyarakat memilih memerdekakan hati dan pikirannya untuk menjauhi dan menolak paham radikalisme yang bertentangan dengan kesejatian NKRI.


Ikut upacara

Saat Upacara HUT ke-78 Kemerdekaan RI di Kota Pekanbaru, Kamis, ada sebanyak 16 mantan narapidana kasus terorisme mengikuti kegiatan tersebut atas undangan Pemerintah Provinsi Riau.

Dahulu mereka enggan mengikuti upacara, dan menganggap haram untuk memberikan hormat kepada bendera atau tunduk kepada hukum buatan manusia. Kini, paham mereka itu semua sudah berubah 360 derajat.

Kepala Satuan Tugas Wilayah (Kasatgaswil) Riau Densus 88 Anti Teror Kombes Pol Tejo Dwi Saptono BS dalam setiap kesempatan menyampaikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga NKRI dan selalu mengajak semua untuk selalu merenung mengenai paham yang tidak sesuai dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.

Saat ini para eks narapidana kasus terorisme banyak yang telah kembali ke pangkuan NKRI berkat binaan Densus 88 Mabes Polri dan Subdit Bina Masyarakat Direktorat Deradikalisasi BNPT. Mereka juga sudah aktif dan rutin secara berkala memberikan sosialisasi terkait dampak paham radikalisme di Provinsi Riau khususnya.

Selain membantu sosialisasi dalam bahaya paham radikalisme, Densus 88 juga memberi ruang kepada para eks napi terorisme untuk kembali memulai hidup yang baru, seperti memberikan pelatihan dan membantu mencari pekerjaan agar para eks napi terorisme lainnya bisa kembali ke masyarakat dan hidup seperti warga negara biasa.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023