Hal tersebut tampaknya masih akan terus berlanjut pada Pemilu 2024, lantaran perbedaan afiliasi politik di antara masyarakat
Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan politisasi identitas di tengah masyarakat pada Pemilu 2024, menyusul polarisasi politik yang terjadi pada Pemilu 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, dan Pemilu 2019.

"Hal tersebut tampaknya masih akan terus berlanjut pada Pemilu 2024, lantaran perbedaan afiliasi politik di antara masyarakat," kata Bamsoet, sapaan karib Bambang Soesatyo, dalam seminar kebangsaan yang diselenggarakan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) secara virtual, sebagaimana keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.

Dia juga menyoroti politik uang yang masih menjadi persoalan besar pada pemilu. Merujuk hasil pemetaan kerawanan pemilu dan pemilihan menyoal politik uang yang dilakukan Bawaslu pada 2023, terdapat lima provinsi paling rawan yang perlu mendapatkan pengawasan ketat, yakni Maluku Utara (skor 100); Lampung (skor 55,56); Jawa Barat (skor 50); Banten (skor 44,44); dan Sulawesi Utara (skor 38,89).

"Jika dilihat berdasarkan agregasi tiap kabupaten/kota, Papua Pegunungan menjadi provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi politik uang. Semua kabupaten di sana masuk dalam kategori rawan. Sembilan provinsi di bawah Papua Pegunungan adalah Sulawesi Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Banten, Lampung, Papua Barat, Jawa Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara," tuturnya.

Baca juga: Pimpinan DPR amini peringatan Jokowi politisasi agama tak digunakan

Baca juga: Majelis agama sepakat tolak politisasi agama pada Pemilu 2024


Di samping tingkat kepercayaan publik terhadap pemilu dan penyelenggara pemilu yang cenderung menurun tiap tahunnya, Bamsoet menyoroti perihal pengawasan rakyat pasca-pemilu yang masih lemah.

"Aktivitas pengawasan warga yang efektif memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan masyarakat yang demokratis. Pengawasan ini berfungsi sebagai kontrol terhadap kekuasaan pejabat terpilih, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memastikan implementasi kebijakan yang sesuai dengan kepentingan publik. Namun dalam implementasinya, pengawasan oleh warga negara cenderung melemah setelah pemilu dilaksanakan," ucapnya.

Padahal, lanjut dia, pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat kompleks dengan biaya yang sangat mahal. Di mana tercatat daftar pemilih tetap (DPT) nasional mencapai hampir 205 juta pemilih, dengan 20.462 kursi di lembaga-lembaga legislatif yang akan diperebutkan oleh lebih dari 200 ribu calon anggota legislatif.

Baca juga: LPOI ajak masyarakat waspadai politisasi agama dan politik identitas

"Dana yang dikelola oleh KPU RI saja mencapai hampir Rp77 triliun, belum termasuk dana yang dikelola lembaga-lembaga lain untuk menopang aktivitas pemilu, termasuk di TNI dan Polri. Pemilu memang mahal, namun itulah biaya yang harus dikeluarkan untuk menegakkan demokrasi secara prosedural," ucapnya.

Terakhir, Bamsoet mengingatkan pula persoalan terkait regresi demokrasi meski pengelolaan pemilu di Asia termasuk yang paling tertata dan kerap dijadikan rujukan. "Laporan Democracy Index dari the Economist Intelligence Unit tahun 2022 mencatat Indonesia memperoleh skor demokrasi yang sama pada tahun 2021, yaitu 6,71 dari 10. Tetapi secara ranking demokrasi Indonesia mengalami penurunan, dari posisi 53 ke posisi 54 dari total 167 negara," ujar dia.

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023