Jakarta (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri menegaskan pentingnya perlindungan bagi pekerja migran Indonesia yang akan dikirim untuk bekerja di sektor domestik di negara-negara Timur Tengah.

Pernyataan itu disampaikan Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI Judha Nugraha untuk menanggapi pencabutan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik ke kawasan Timur Tengah.

“Yang paling utama setelah kebijakan ini (dicabut) adalah bagaimana kita bisa membuat jalur migrasi yang aman bagi pekerja migran sektor domestik yang akan berangkat ke Timur Tengah, karena itu akan menjadi bagian dari pembenahan tata kelola yang perlu kita lakukan,” ujar Judha ketika ditemui di Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia mengupayakan perubahan tata kelola untuk memberikan perlindungan yang optimal bagi para pekerja migran di sektor domestik.

Perubahan tata kelola yang dimaksud yaitu Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK), yang antara lain mengatur pemindahan wewenang pihak penanggung (kafil) dari majikan perseorangan menjadi badan hukum.

Pasalnya, sistem kafalah yang berlaku di banyak negara Timur Tengah inilah yang menyebabkan maraknya kasus penyiksaan dan eksploitasi yang dialami pekerja migran Indonesia, hingga pemerintah memutuskan untuk memberlakukan moratorium pada 2015 silam.

“Banyaknya kasus yang terjadi di Timur Tengah kala itu terutama disebabkan oleh sistem kafalah yang menempatkan pekerja migran kita dalam posisi yang rentan tereksploitasi oleh majikan. Karena dengan sistem kafalah itu, nasib pekerja migran Indonesia betul-betul tergantung si majikan,” kata Judha.

“Itulah sebabnya kita terapkan moratorium yang sudah berjalan dan kemudian dicabut pada hari ini,” kata dia, merujuk pada keputusan Kementerian Ketenagakerjaan yang resmi mencabut Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah.

SPSK sendiri, ujar Judha, telah menyelenggarakan proyek percontohan di Arab Saudi melalui kesepakatan yang ditandatangani kedua negara pada 2018.

Jika penerapannya dinilai berhasil, maka sistem tersebut akan direplikasi ke 18 negara Timur Tengah lainnya—yang merupakan negara tujuan penempatan pekerja migran Indonesia sesuai Kepmenaker No.260/2015.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengumumkan pencabutan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia ke kawasan Timur Tengah dengan merujuk proses penempatan sesuai dengan amanat UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Ia menjelaskan bahwa sesuai dengan UU No.18/2017, penempatan pekerja migran Indonesia harus mengikuti ketentuan, antara lain negara tujuan penempatan harus mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing, kemudian memiliki perjanjian tertulis antara pemerintah negara tujuan penempatan dan pemerintah Indonesia, serta memiliki sistem jaminan sosial dan/atau asuransi yang melindungi pekerja asing.

"Selain tiga syarat tersebut, juga perlu adanya sebuah kesepakatan untuk memiliki sistem yang terintegrasi antara pemerintah Indonesia dengan negara tujuan di Timur Tengah," kata Ida Fauziyah dalam keterangan tertulisnya, Rabu.

Selain itu, Kemnaker juga mencabut dan mengubah Keputusan Menaker No.291/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di Kerajaan Arab Saudi Melalui Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK).

"Perubahan ini kami tegaskan untuk memberikan kesempatan kepada seluruh Perusahaan Penempatan PMI (P3MI) dapat mengikuti SPSK yakni dengan mengubah persyaratan P3MI yang dapat ikut serta dalam Program SPSK penempatan PMI sektor domestik di Arab Saudi," ujar Ida.

Baca juga: KBRI pulangkan lima WNI terdampak konflik Sudan
Baca juga: Kemenlu edukasi mahasiswa terkait diplomasi pelindungan WNI
Baca juga: Anggota DPR soroti ulah WNI yang jadi calo deportasi di Arab Saudi

 

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2023