Bandung (ANTARA) - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengharapkan adanya solusi untuk mencegah peningkatan eskalasi konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan dalam beberapa bulan terakhir.

Salah satunya solusi terkait kebijakan kewajiban pembangunan kebun masyarakat (FPKM) sebesar 20 persen yang telah menyebabkan multitafsir dan mengakibatkan maraknya masalah keamanan berusaha imbas tuntutan sekelompok masyarakat.

"Sesuai dengan Permentan 26 tahun 2007 semestinya FPKM tidak berlaku bagi perusahaan yang sudah bermitra dan sudah mempunyai hak tanah sebelum tahun 2007," kata Eddy dalam pemaparan di Bandung, Jawa Barat, Kamis.

Ia menambahkan potensi konflik juga dapat terus terjadi mengingat adanya perkebunan sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan, meski sebagian diantaranya telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan telah ditanami, bahkan memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Hak Guna Usaha (HGU).

Sebelumnya, telah dikeluarkan 13 SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang menyebutkan adanya 2.321 unit usaha dengan luasan 1.907 ribu hektare yang diidentifikasikan sebagai kawasan hutan. Perusahaan tersebut, apabila telah memiliki perizinan di bidang kehutanan, akan mengikuti penyelesaian pasal 110A di UU Cipta Kerja.

Namun, perusahaan perusahaan yang tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan dan tidak sesuai dengan tata ruang akan mengikuti penyelesaian pasal 110B dan diharuskan membayar denda dan hanya boleh beroperasi dalam satu siklus saja.

Ia pun mengharapkan adanya solusi terkait hal tersebut mengingat konflik perusahaan dan masyarakat atas manfaat lahan dikhawatirkan dapat berdampak kepada iklim investasi industri sawit nasional kedepannya.

Dalam kesempatan ini, GAPKI juga mencatat luas lahan anggota yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan sesuai SK Menteri LHK mencapai 648 ribu hektare. Sedangkan angka luasan SHM dan HGU yang diidentifikasi masuk kawasan hutan masih dalam penghitungan.

Tidak hanya menghadapi persoalan status lahan, saat ini sektor industri sawit juga menemui masalah domestik lainnya, seperti produksi yang menurun di tengah peningkatan konsumsi dan permintaan, khususnya untuk pangan dan oleokimia.

"Sangat penting untuk industri kelapa sawit Indonesia meningkatkan produktivitas, melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR)," kata Eddy.

Meski menghadapi masalah internal dan eksternal berupa hambatan di Eropa, sektor ini tetap memberikan peranan yang sangat penting untuk devisa negara. Tahun 2022, berdasarkan catatan, industri kelapa sawit menyumbang devisa sebesar 39,07 miliar dolar AS atau hampir mencapai Rp600 triliun.

Baca juga: Pengamat sebut kehadiran bursa sawit dukung iklim usaha
Baca juga: GAPKI wajibkan anggota siapkan sarana antisipasi kebakaran lahan
Baca juga: Konflik Orang Rimba dengan perkebunan sawit tak kunjung terselesaikan


Pewarta: Satyagraha
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023