Jadi, kami perlu capital flow untuk membuat resources itu memang bisa dieksplor dan diproduksi secara ekonomi
New Delhi, India (ANTARA) - PT Pertamina (Persero) menyebut ada empat kebutuhan dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam upaya percepatan transisi energi.

"Bagaimana caranya kami mempercepat energi transisi ini, jadi dari point of view negara berkembang tentunya kami melihat ada empat kebutuhan dari energi transisi ini," ucap Senior Vice President of Research Technology and Innovation Pertamina Oki Muraza di sela-sela BloombergNEF (BNEF) Summit yang merupakan rangkaian dari kegiatan B20 Summit 2023 di New Delhi, India, Kamis.

Kebutuhan pertama terkait dengan modal. Menurut Oki, dibutuhkan capital flow dari negara maju kepada negara berkembang. Ia mencontohkan adanya gap atau jarak pendapatan per kapita antara negara maju dan negara berkembang tersebut.

"Negara-negara yang sangat maju, GDP per kapitanya itu sudah di atas 50.000 dolar AS kemudian negara-negara berkembang seperti Indonesia itu masih di bawah 5.000 dolar AS per kapita. Jadi, tentunya kami mengharapkan capital flow ini sebagai bentuk dari amanat Kyoto Protocol yang kita kenal sebagai CBDR (common but differentiated responsibilities)," kata Oki.

Ia mengatakan adanya bantuan tersebut dapat bermanfaat bagi negara-negara yang mempunyai potensi energi terbarukan yang sangat besar seperti Indonesia untuk membangun teknologi dalam mendukung transisi energi.

Selanjutnya, kebutuhan kedua soal infrastruktur. "Karena memang yang paling besar membutuhkan pendanaan itu antara lain infrastruktur dan tentunya di negara maju infrastruktur itu sudah sangat ter-develope sangat baik," ujar Oki.

Kemudian kebutuhan ketiga, yakni teknologi. Oki mengatakan bahwa teknologi menjadi tantangan dalam upaya transisi energi. Hal tersebut, kata dia, masih terkait dengan capital flow.

"Kami tidak hanya membutuhkan capital flow untuk mengurangi emisi dari current infrastructure yang kami miliki tetapi kami juga membutuhkan capital flow untuk membuat potensi resources yang ada di Indonesia itu bisa dijadikan energi. Jadi, kami perlu capital flow untuk membuat resources itu memang bisa dieksplor dan diproduksi secara ekonomi," ungkapnya.

Sedangkan, kebutuhan terakhir, lanjut Oki, diperlukan kebijakan-kebijakan yang mendukung bagi upaya energi transisi itu sendiri.

Senada, Chair B20 Indonesia Shinta Kamdani yang turut hadir dalam acara tersebut juga mengemukakan bantuan dari negara-maju diperlukan dalam upaya mendukung transisi energi di negara-negara berkembang.

"Kalau kami bicara soal financing, kami minta komitmen dari negara-negara maju bagaimana bisa membantu negara-negara berkembang seperti kami. Jadi, ini harus ada komitmen juga dari segi financing karena ada gap (jarak)," kata Shinta yang juga CEO Sintesa Group tersebut.

Ia mengatakan bahwa Indonesia juga mempunyai kebijakan-kebijakan dalam upaya transisi energi, salah satunya melalui Carbon Center of Excellence, salah satu program yang dihasilkan dari B20 Indonesia 2022 lalu.

"Jadi, kami mau ini lebih konkret dari segi project makanya kami juga punya legacy-legacy yang kami teruskan yang Carbon Center of Excellence karena carbon market sekarang menjadi salah satu self financing yang juga penting untuk diberikan insentif dan lain-lain," ujar Shinta.

Indonesia, kata dia, saat ini juga telah berkomitmen untuk mempercepat transisi energi seperti upaya pensiun dini pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan mengembangkan potensi besar dari energi baru terbarukan (EBT) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

"Financing pun sudah mulai terlihat kalau kita lihat tahun lalu di G20 kami punya JETP (Just Energy Transitions Partnership), (komitmen pendanaan) 20 miliar dolar AS," ujar Shinta.

Adapun, pendanaan JETP-Indonesia terdiri atas 10 miliar dolar AS pendanaan publik dari para anggota IPG (Amerika Serikat, Inggris Raya, Kanada, Jerman, Prancis, Italia, Jepang, Norwegia, Denmark, dan Uni Eropa).

Selain itu, juga 10 miliar dolar AS dari tujuh institusi keuangan internasional yang merupakan anggota Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yaitu HSBC, Citibank, Standard Chartered, Bank of America, Deutsche Bank, MUFG, dan Macquarie.

Tipe pendanaan, di antaranya dapat berupa hibah dan pinjaman, baik lunak maupun blended finance, yaitu suatu skema di mana pendanaan komersial diramu dengan tipe pendanaan lainnya untuk menghasilkan suku bunga rendah dan persyaratan yang paling baik (biaya modal yang lebih murah).

Kementerian ESDM menyebut dana JETP bisa dipakai untuk pengembangan energi bersih, percepatan pensiun dini PLTU batu bara, program peningkatan efisiensi energi serta pengembangan industri pendukung EBT.

Baca juga: Pertamina sebut efisiensi energi sebagai "no regret initiative"
Baca juga: Pertamina: pengembangan teknologi dukung transisi energi Indonesia

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2023