Jakarta (ANTARA) - Pakar komunilogi mengimbau politisi untuk tidak menjadikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebagai kambing hitam meningkatnya polusi udara di Ibu Kota Jakarta.

Pakar komunilogi dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, sekarang politisi yang menggunakan isu publik sebagai ajang kampanye di media massa.

"Sekarang yang lagi ramai, politisi ikut-ikutan bahas polusi udara,” katanya di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Pakar kemukakan langkah konkret sektor hulu dan hilir atasi polusi

Politisi, paparnya, terlihat kurang mampu menggali isu yang dapat mengangkat elektabilitasnya, akhirnya mereka memilih isu publik yang saat ini hangat di media massa maupun media sosial.

"Data mereka sama sekali tidak benar dan jauh dari aktual. Mayoritas politisi bilang PLTU penyebab utama polusi udara di Jakarta, sampai 25 persen. Itu jauh dari fakta dan penelitian," katanya.

Dia mengatakan, ahli Lingkungan ITB dan universitas ternama lainnya sudah memaparkan penelitiannya, bahkan KLHK juga sudah memaparkan bahwa faktor PLTU tidak lebih dari 1 persen.

Emrus menambahkan, kualitas udara di Provinsi Banten jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Ibu Kota Jakarta meski letaknya lebih dekat dengan PLTU yang dianggap sebagai salah satu sumber polutan.

"Kita bandingkan saja, 10 menit jalan di Jakarta hidung terasa kotor akibat polusi udara. Di Banten tidak demikian," ujarnya.

Baca juga: Epidemiolog: Penyemprotan air bertekanan tinggi perburuk polusi

Menurut dia, sudah banyak ahli lingkungan yang memaparkan buruknya kualitas udara di Jakarta akibat masalah pada sektor transportasi yang belum pernah terselesaikan.

Isu buruknya kualitas udara di Ibu Kota, lanjutnya, sangat tidak tercermin oleh PLTU yang ada di sekitar Jakarta.

Emrus menyatakan para politisi, terutama bakal calon presiden seharusnya tidak sekedar menjadikan isu polusi udara sebagai komoditas politik, namun diharapkan memunculkan solusi jangka panjang karena mereka lah yang akan memimpin

Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023