Jakarta (ANTARA) - Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Katarina Setiawan menyampaikan reksa dana pendapatan tetap masih berpotensi memberikan imbal hasil yang optimal pada akhir tahun 2023.

“Indonesia dipandang memiliki daya tarik yang kuat bagi investor asing, ditopang oleh pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi yang terjaga,” ujar Katarina sebagaimana keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

Menurutnya, volatilitas imbal hasil surat berharga pemerintah 10 tahun yang terjadi baru-baru ini, dipicu oleh bergejolaknya imbal hasil US Treasury di tengah penurunan peringkat utang Amerika Serikat (AS), dan ekspektasi masih akan berlanjutnya kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed).

Setelah Fed Funds Rate (FFR) dari The Fed yang diperkirakan akan mencapai puncaknya dalam waktu dekat, Ia melihat bahwa pasar obligasi global dan juga domestik akan lebih stabil.

“Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II 2023 lebih kuat dari perkiraan, sebesar 5,17 persen. Ini merupakan angka pertumbuhan yang terkuat dalam tiga kuartal terakhir,” ujar Katarina.

Dari dalam negeri, lanjutnya, Bank Indonesia (BI) tetap dengan sikapnya untuk mempertahankan tingkat suku bunga di level saat ini, karena dianggap cukup untuk menahan inflasi. Saat ini dua fokus utama BI yaitu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mendorong pertumbuhan kredit.

“Sementara itu, kita lihat konsumsi masyarakat dan aktivitas produksi industri di dalam negeri juga masih terjaga baik,” ujar Katarina.

Seiring dengan itu, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income MAMI Ezra Nazula mengatakan konsistensi kebijakan dovish BI di tengah meredanya inflasi akan terus menjaga daya tarik dan imbal hasil obligasi tetap stabil.

Ia berharap disiplin fiskal dan fundamental makroekonomi Indonesia yang solid dapat mendukung peningkatan sovereign outlook dari lembaga pemeringkat besar lainnya, setelah R&I meningkatkan outlook Indonesia dari stabil menjadi positif.

“Jadi, kami lihat kondisi pasar obligasi masih akan positif hingga akhir tahun ditopang oleh dinamika global dan domestik yang baik,” ujar Ezra.

Menurutnya, terdapat beberapa katalis bagi pasar obligasi pada tahun ini, di antaranya adalah sudah tercapainya puncak kenaikan suku bunga acuan BI, serta pengurangan target penerbitan surat berharga pemerintah di tengah defisit anggaran yang mengecil.

Selain itu, inflasi yang rendah serta permintaan domestik yang kuat menjadi faktor pendukung pasar obligasi.

Dari sisi global, lanjutnya, arus masuk investasi asing ke Surat Berharga Negara (SBN) masih akan berlanjut di tengah masih cukup rendahnya kepemilikan asing,yang hanya sebesar 15,51 persen per akhir kuartal II 2023.

Pihaknya memproyeksikan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun akan ada di kisaran 6,00 persen - 6,25 persen pada akhir tahun ini, yang mana volatilitas pasar obligasi diperkirakan akan sangat mereda setelah Fed Funds Rate (FFR) mencapai puncaknya, yang diperkirakan tercapai tidak lama lagi.

“Reksa dana pendapatan tetap dapat dimanfaatkan oleh investor dengan profil risiko konservatif dan moderat (risiko menengah), serta cocok untuk investasi dalam jangka pendek hingga menengah,” ujar Ezra.

Baca juga: OJK terbitkan aturan baru guna perkuat pengelolaan reksa dana
Baca juga: Emas melonjak, data ekonomi AS tekan dolar dan imbal hasil obligasi

Baca juga: BNP Paribas membidik AUM reksa dana ESG capai Rp100 miliar di 2023
 

Pewarta: Muhammad Heriyanto
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023