Bekasi, (ANTARA News) - Walikota Bekasi, Akhmad Zurfaih menegaskan, Pemprov DKI Jakarta harus bertanggungjawab memperbaiki kerusakan infrastruktur dan lingkungan di sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Bantargebang. Drainase pembuangan air lindi, Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS) dan pencemaran lingkungan menjadi tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta, kata Akhmad Zurfaih di Bekasi, Jum`at (30/6). Jika, kerusakan inrastruktur, pencemaran lingkungan dan IPAS tidak segera diperbaiki dikhawatirkan akan merusak ekosistem di sekitar kawasan tersebut yang pada gilirannya berpengaruh kepada kesehatan masyarakat setempat. "Kerusakan lingkungan TPA Bantargebang menjadi tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta dan itu harus dilakukan untuk menjaga kelestarian alam dan mencegah penyakit akibat sampah," ujarnya. Kewajiban DKI memperbaiki kerusakan lingkungan dan infrastruktur TPA Bantargebang, tertuang dalam perjanjian kerjasama (PKS) antara Pemkot Bekasi dengan Pemprov DKI Jakarta yang akan berakhir pada 17 Juli 2006. Baru-baru ini, Tim dari Pemda Kota Bekasi dan Pemprov DKI Jakarta yang terdiri dari Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan bagian hukum sedang mengkaji konsep kerjasama perpanjangan penggunaan lahan TPA Bantargebang seluas 108 hektar. Dalam konsep perjanjian perpanjangan pemanfaatan lahan TPA kali ini, lebih terfokus kepada bagaimana penataan dan perbaikan lingkungan serta pengelolaan sampah secara maksimal menggunakan teknologi tinggi. "Saya menitikberatkan kepada perbaikan kerusakan lingkungan yang cukup parah. Kalau terlambat masyarakat sekitar kawasan TPA terancam penyakit dan itu tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta," kata Akhmad Zurfaih. Ia mengakui bahwa pengelolaan sampah di TPA Bantargebang lebih baik ketimbang penanganan sampah di tempat lain, tetapi masih harus ditingkatkan semaksimal mungkin. Sementara itu, pengamat lingkungan dari LSM Environment Community Union, Benny Tunggul Hasiholan, mengatakan, pengelolaan sampah TPA Bantargebang menggunakan "sanitary landfill" masih amburadul. Pengelolaan sampah di Bantargebang dengan sistem penimbunan tanah (cover soil) yang tidak sempurna akan berpeluang besar terjadinya kebakaran di kawasan tersebut. Seharusnya, penanganan sampah dengan cover soil dilakukan dengan ketebalan tanah sekitar satu hingga dua meter, tetapi kenyataan di lapangan ketebalan tanah penimbun hanya berkisar 30 hingga 50 sentimeter. Akibatnya, sinar matahari masih bisa menembus lapisan tanah melalui pori-pori kemudian terjadi persenyawaan zat Nitrogen yang dihasilkan dari proses pembusukan sampah dengan gas Methan hingga terjadi kebakaran. "Karena penimbunan sampah hingga sekarang tidak sesuai aturan, maka berpeluang terjadi kebakaran seperti dua tahun lalu di zona IV A TPA Bantargebang akibat persenyawaan gas Methan dengan Nitrogen," kata Benny. Peristiwa kebakaran di TPA dua tahun lalu itu sebagai salah satu indikator bahwa pengelolaan sampah amburadul, karena Pemprov DKI Jakarta kurang memperhatikan penanganan sampah. "Saya memprediksi sewaktu-waktu kawasan TPA Bantargebang bisa terjadi lagi kebakaran jika pengelolaan sampah menggunakan sanitary landfill tidak dilakukan dengan baik," ujarnya.(*)

Copyright © ANTARA 2006