Bondowoso (ANTARA) - "Saya memang pernah tunangan. Eh, ditunangkan. Karena aslinya saya tidak mau," kata Tati (18), remaja putri asal Bondowoso, Jawa Timur, ketika membuka penggalan kisah hidupnya.

Kisahnya menarik dan bisa menjadi ajang belajar bagaimana seseorang tidak harus tunduk pada tradisi yang memang perlu dirombak.

Saat itu, mahasiswa semester pertama perguruan tinggi negeri di Jember ini menyetujui kemauan orang tuanya untuk ditunangkan, dengan alasan takut diguna-guna.

Guna-guna adalah jampi-jampi atau mantra yang dibaca oleh seseorang untuk menarik perhatian dan cinta orang lain. Istilah lain dalam praktik untuk memikat lawan jenis ini adalah pelet.

Keyakinan mengenai guna-guna atau pelet menjadi bagian dari masih adanya budaya nikah dini di wilayah Kabupaten Bondowoso.

Data di Pengadilan Agama (PA) Bondowoso menunjukkan pada 2021 hingga 2022 sebanyak 1.549 perkara dispensasi kawin yang masuk di lembaga peradilan itu, dengan jumlah perkara putus sebanyak 1.502. Dispensasi kawin adalah surat penetapan boleh menikah di luar ketentuan umur berdasarkan putusan hakim di PA.

Biasanya, surat dispensasi itu diperlukan ketika orang tua ingin menikahkan anaknya yang belum berumur 19 tahun. Sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

Tradisi nikah dini di wilayah penghasil penganan tapai dan kopi ini patut menjadi perhatian semua pihak untuk membantu generasi muda, khususnya perempuan, terhindar dari kekakuan budaya itu.

Mari kita belajar dari pengalaman Tati, bukan nama sebenarnya, yang ternyata bisa keluar dari tradisi itu, dan kemudian dia bisa mengenyam pendidikan tinggi.

Kepada ANTARA, Tati mengaku pernah bertunangan, meskipun pertunangan itu hanya berumur 3 bulan. Saat menerima pertunangan itu (masih kelas 2 MTs/SMP), ia diingatkan oleh orang tuanya bahwa kalau lamaran si calon tunangan ditolak, justru berbahaya. Orang tuanya mengaku takut diguna-guna oleh keluarga si pelamar. Karena takut dengan dampak pelet itu, Tati tidak pernah mau memakan pemberian dari keluarga si tunangan.

"Biasanya ibu saya yang memakan kiriman dari tunangan saya waktu itu. Ternyata ibu saya malah terpengaruh, dan sangat mendukung pertunangan itu," kata Tati, sambil tersenyum kecut mengingat pertunangan tak diinginkan itu.

Karena tidak ingin berlama-lama, satu bulan pertama ia sudah meminta orang tuanya membatalkan pertunangan. Bulan kedua orang tua Tati masih bertahan, dan baru bulan ketiga membulatkan tekad untuk memutuskan tali pertunangan.

Orang tua Tati bersyukur karena memilih orang yang tepat untuk berbicara dengan baik-baik kepada keluarga tunangan anaknya, sehingga tidak menimbulkan ketersinggungan.

Biasanya keluarga laki-laki tersinggung dengan pemutusan pertunangan, jika diketahui si perempuan setelah itu menerima lamaran lelaki lain.

Sejak menyampaikan pemutusan atau pembatalan pertunangan lima tahun lalu itu, hingga kini, Tati tidak pernah bertunangan lagi, termasuk tidak mengenal masa pacaran.

Selain terkait ketakutan mengenai pelet, ada mitos yang dipegang oleh orang tua di Bondowoso, khususnya di perdesaan, yakni pantang menolak lamaran pihak lelaki, karena khawatir si anak gadisnya nanti "tidak laku" dan akan menjadi perawan tua.

Mitos itu diyakini sebagai kepercayaan yang betul-betul menjadi kenyataan, terutama jika si gadis remaja pertama kali mendapat lamaran.

Cara orang tua Tati untuk menghindar agar anaknya tidak terjerat pernikahan dini, telah melampaui dua ketakutan yang menjadi momok para orang tua di perdesaan di Bondowoso, yakni takut dipelet dan takut anaknya tidak laku untuk segera menikah kelak.

Tati bukan tergolong remaja yang "genit" dalam urusan relasi dengan lawan jenis. Ia adalah remaja putri pendiam dan selalu berprestasi saat di sekolah menengah kejuruan (SMK).

Tati beruntung, karena meskipun hidup di desa, orang tuanya tidak memaksa harus menjalani pertunangan secara serius. Orang tua Tati juga sadar bahwa tidak baik bagi anaknya untuk nikah di usia belum dewasa.

Sebagaimana kebiasaan di desa, jika seorang perempuan sudah terikat pertunangan dengan lelaki, tidak ada pilihan untuk satu atau dua tahun setelah akad tunangan, mereka harus menikah.

Masalah seperti ini yang sering membuat remaja putri tidak bisa terhindar dari praktik nikah di usia dini, dengan kondisi jiwa yang belum siap menghadapi ombak dan badai berumah tangga.

Belum lagi akibat ulah si remaja, yang setelah tunangan biasanya sering keluar berdua dengan pasangan. Di luar kontrol orang tua, dia kemudian hamil, yang mau tidak mau harus segera dinikahkan. Jika demikian, pupuslah harapan untuk melanjutkan pendidikan.

Penolakan secara halus

Beda Tati, beda juga dengan Vita (18). Remaja putri yang satu angkatan di sekolah dengan Tati ini mengaku sudah delapan kali dilamar oleh laki-laki. Kepiawaian bapaknya menyampaikan penolakan secara halus membuat keluarga Vita tidak mengalami konflik dengan keluarga laki-laki yang lamarannya ditolak.

Vita, remaja berkulit putih bersih ini, memilih cara selalu menutup wajahnya dengan semacam masker. Momennya, kala itu pas bersamaan dengan pandemi COVID-19.

Awalnya banyak yang mengira bahwa perempuan berprestasi di pelajaran dan organisasi ini telah ikut aliran keagamaan yang dicap keras karena selalu mengenakan cadar. Dia pernah menjadi ketua OSIS di SMK di Bondowoso.

Bercadar yang bukan bermotif ideologis dipilih Vita yang pernah menjadi Ketua OSIS di SMK itu agar wajahnya tidak terlihat oleh laki-laki remaja yang berpotensi mengundang keinginan untuk melamar atau setidaknya menaksir.

Langkah bercadar Vita sempat mendapat penentangan dari bapaknya, karena di lingkungan tempat tinggalnya tidak ada yang bercadar. Dia harus siap menerima penilaian, bahkan cibiran karena bercadar.

Setelah dijelaskan bahwa bercadar itu bukan karena masalah agama, bapak Vita menerima. Vita hanya tidak ingin menjadi korban berikutnya dari budaya nikah muda di keluarga dan di desanya.

Beberapa kali orang tua Vita menerima permintaan pertunangan, saat si anak masih di bangku sekolah, termasuk saat beberapa hari setelah Vita mendapat kepastian lulus seleksi KIP Kuliah di sebuah PTN di Jember.

Lagi-lagi ayah Vita harus menolak dengan halus permintaan pertunangan itu agar tidak menimbulkan ketersinggungan di mata keluarga lelaki. Penolakan terakhir memiliki alasan kuat karena Vita masih ingin kuliah dan sudah diterima di sebuah perguruan tinggi negeri.

Orang tua Vita adalah salah satu dari orang tua yang tidak terlalu yakin dengan dua mitos yang menjerat gadis remaja di desa hingga menikah dini, yakni pelet dan menjadi perawan tua.

"Saya percaya dengan adanya pelet dan kepercayaan menjadi perawan tua itu. Tapi alhamdulillah, itu tidak terlalu membuat saya takut. Saya lebih yakin pada kekuasaan Allah," kata Arbiyadi, orang tua Vita, ketika berbincang dengan ANTARA.

Kenyataan Vita diterima di sebuah perguruan tinggi negeri dengan fasilitas beasisiwa KIP Kuliah kadang masih menjadi perbincangan di desa, karena dianggap menyimpang dari tradisi masyarakat kebanyakan. Mereka beranggapan bahwa kuliah itu membebani orang tuanya. Mereka kaget ketika tahu bahwa Vita kuliah dengan tanpa mengeluarkan biaya apapun berkat beasiswa.

KIP Kuliah adalah fasilitas yang disediakan oleh pemerintah untuk anak-anak yang berprestasi di sekolah dan punya keinginan untuk kuliah, namun terkendala biaya.

Kembali ke cerita Tati dan Vita. Penolakan keduanya terhadap pernikahan dini itu bukan tanpa alasan. Kedua remaja putri itu bukan hanya tahu dari membaca buku atau mendapat informasi dari media mengenai dampak negatif dari nikah dini. Keduanya adalah saksi langsung bagaimana pernikahan di usia remaja itu banyak memunculkan masalah.

Tati dan Vita melihat bagaimana tetangga dan keluarga dekat yang menikah dini itu tidak bahagia. Mereka sering bertengkar, bahkan tidak jarang berakhir cerai, dengan beban hidup anak hasil pernikahan itu menjadi tanggungan si perempuan.

Melihat kenyataan itu Vita sempat trauma dan berpikir nanti tidak akan pernah menikah. Berkat diskusi dengan beberapa orang, rasa trauma itu kini menjadi berubah. Ternyata banyak pernikahan yang dijalani dengan bahagia, terutama pernikahan dengan usia matang.

Tati dan Vita telah memberi pelajaran besar bagi banyak orang bahwa keinginan kuat untuk mengapai kemajuan tidak sia-sia. Meskipun keduanya baru berada di tahap perjuangan karena masih kuliah, namun untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi itu harus melalui upaya berliku melampaui tradisi nikah dini.

Tidak ada jalan lain, untuk terhindar dari pernikahan dini dan memperbaiki masa depan menjadi lebih baik adalah kuliah. Karena itu, Tati dan Vita nekad mendaftar kuliah sambil berharap mendapatkan beasiswa KIP Kuliah.

Vita beruntung, karena lulus memilih perguruan tinggi negeri dengan beasiswa KIP Kuliah, sedangkan Tati lulus dengan tanpa beasiswa. Tati tetap meneruskan kuliah dengan harapan pada tahun-tahun berikutnya bisa mendapatkan keringanan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) dan kemungkinan mendapatkan beasiswa.

Belajar dari pengalaman Tati dan Vita, kiat terhindar dari jeratan nikah dini adalah adanya kemauan dari si gadis remaja, yakni memiliki cita-cita tinggi untuk maju. Si anak adalah kunci utama, dan dukungan orang tua menjadi penguat.

Kalau kemauan untuk kuliah hanya muncul dari si gadis dan orang tua tidak mendukung, biasanya si gadis menjadi korban. Namun jika kemauan itu bertemu dengan keinginan orang tua, maka si anak menjadi merdeka untuk meraih cita-citanya.

Wakil Ketua Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK) SMK Kabupaten Bondowoso Novie Ariyanti yang juga guru BK SMK Negeri Klabang (Bondowoso), sependapat jika tradisi nikah dini dapat diatasi oleh kemauan kuat si anak untuk fokus pada cita-cita.

Dia mengaku beberapa kali menangani anak didiknya selamat dari tradisi nikah dini, ketika kemauan si anak didukung oleh orang tuanya.

Karena itu, orang tua perlu memahami bahwa pernikahan dini banyak menyeret anak-anak, terutama perempuan, terjerumus pada penderitaan berkepanjangan menanggung beban keluarga.

Masalah ekonomi dan ketidakmampuan pasangan yang menikah dini untuk mengelola emosi masing-masing, menjadi sumber percekcokan dan masalah.

Pemerintah di semua lini dan tingkatan, sudah tidak henti-hentinya menyampaikan sosialisasi pentingnya memperhatikan usia untuk menuju jenjang pernikahan. Kerja sama semua pihak untuk mendukung upaya pemerintah ini menjadi penting, termasuk para orang tua dan para tokoh agama yang pendapatnya banyak diikuti oleh masyarakat.

Apalagi, sebagaimana diakui oleh MGBK, guru-guru BK juga sudah ikut berjuang memutus rantai terjadinya pernikahan dini, sehingga lebih luas menjangkau kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menikahkan anak di usia yang cukup atau dewasa.

 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023