Singapura (ANTARA) - Dolar AS menuju kenaikan mingguan terpanjang dalam sembilan tahun pada Jumat, didukung oleh kuatnya data ekonomi AS yang juga mempertanyakan akhir dari siklus kenaikan suku bunga Federal Reserve.

Di Asia, para pedagang dengan cermat mengamati pergerakan mata uang China, setelah yuan di dalam negeri jatuh ke level terendah dalam 16 tahun di sesi sebelumnya.

Indeks dolar AS, yang mengukur greenback terhadap mata uang utama lainnya, stabil di 105,02 pada awal perdagangan, Asia tidak jauh dari level tertinggi enam bulan pada sesi sebelumnya di 105,15.

Indeks dolar berada di jalur untuk memperpanjang kenaikannya dalam minggu kedelapan berturut-turut, dan sejauh ini naik 0,7 persen.

Euro, komponen terbesar dalam indeks dolar, mengalami penurunan selama delapan minggu berturut-turut, dengan mata uang tunggal terakhir sedikit lebih tinggi pada 1,0701 dolar, setelah jatuh ke level terendah tiga bulan di 1,0686 dolar pada Kamis (7/9/2023).

"Cerita minggu ini banyak membahas tentang ketahanan yang kita lihat dalam data... psikologi pasar adalah bahwa segala sesuatunya terlihat jauh lebih baik di AS dibandingkan di negara lain di dunia," kata Ray Attrill, kepala analis valas di National Australia Bank.

Data yang keluar minggu ini menunjukkan sektor jasa-jasa AS secara tak terduga menguat pada Agustus dan klaim pengangguran mencapai level terendah sejak Februari pekan lalu, sementara di zona euro, produksi industri di Jerman, negara dengan ekonomi terbesar di Eropa, turun sedikit lebih besar dari perkiraan pada Juli.

“Membandingkan fundamental pertumbuhan Eropa dan AS saat ini, AS masih terlihat lebih unggul,” kata Attrill.

Sterling juga melemah di dekat level terendah tiga bulan pada Kamis (7/9/2023) dan terakhir dibeli 1,2484 dolar, diperkirakan mencatat kerugian mingguan lebih dari 0,8 persen.

Yuan di luar negeri naik tipis 0,05 persen menjadi 7,3379 per dolar, namun tetap tidak jauh dari level terendah 10 bulan di 7,3490 yang dicapai pada Agustus. Mata uang ini berada di jalur kerugian mingguan hampir 1,0 persen terhadap dolar, yang merupakan minggu terburuk dalam sebulan terakhir.

Yuan terus terdepresiasi sejak Februari karena lemahnya pemulihan ekonomi pascapandemi dan melebarnya kesenjangan imbal hasil dengan negara-negara lain, khususnya Amerika Serikat, yang berdampak pada aliran modal dan perdagangan.

Yuan di dalam negeri, yang menyentuh level terlemahnya sejak 2007 pada Kamis (7/9/2023), telah jatuh hampir 6,0 persen terhadap dolar sepanjang tahun ini dan menjadi salah satu mata uang Asia dengan kinerja terburuk dibandingkan mata uang luar negeri.

“Saya memperkirakan dolar/yuan akan naik menjadi 7,50 pada pertengahan tahun 2024 karena tampaknya tidak ada stimulus fiskal besar yang akan dilakukan, sehingga kebijakan moneter harus terus menanggung sebagian beban untuk mendukung perekonomian,” kata Alvin Tan, Kepala Strategi Valas Asia di RBC Capital Markets.

Penurunan tajam yuan telah mendorong pihak berwenang mengambil tindakan untuk memperlambat laju depresiasinya.

Dolar Australia, yang sering digunakan sebagai proksi likuid untuk yuan, terakhir menguat 0,07 persen pada 0,6381 dolar AS, namun diperkirakan akan mengalami kerugian mingguan lebih dari 1,0 persen.

Dolar Selandia Baru juga berada di jalur penurunan sekitar 0,9 persen untuk minggu ini dan terakhir dibeli 0,5890 dolar AS.

Yang juga menjadi perhatian para pedagang adalah yen yang melemah, yang naik 0,15 persen menjadi 147,06 per dolar namun tetap berada di sisi yang lebih lemah dari level penting 145 yang mendorong intervensi oleh otoritas Jepang tahun lalu.

Meskipun para pejabat telah meningkatkan upaya mereka untuk mempertahankan yen, mereka juga terus menekankan perlunya mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgar bank sentral Jepang.


Baca juga: Dolar bersinar di awal Asia, sementara yen jatuh ke terendah 10 bulan
Baca juga: Yuan anjlok 186 basis poin jadi 7,1969 terhadap dolar AS

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2023