Jakarta (ANTARA) - Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan (FLP) Siti Mazumah mengatakan tantangan penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) di antaranya penafsiran berbeda yang dimiliki penegak hukum.

"Soal penafsiran pasal di Pasal 44 Ayat 4 (UU PKDRT). Menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda antara satu aparat penegak hukum dengan aparat penegak hukum yang lain," kata Siti Mazumah dalam talkshow bertajuk "Dialog Lembaga Penyedia Layanan Mengenai Penghapusan KDRT", di Jakarta, Selasa.

Kemudian UU PKDRT sulit diterapkan pada perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama maupun di Catatan Sipil.

"Ketika menikah secara adat atau ketika menikah secara agama dan terjadi KDRT, apakah kemudian dapat menggunakan UU PKDRT atau menggunakan Pasal 351 KUHP untuk penganiayaan," kata Siti Mazumah.

Selama tahun 2022, Forum Pengada Layanan (FLP) mencatat provinsi dengan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang tertinggi adalah DKI Jakarta dengan 1.528 kasus.

"Data kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling tinggi ada di DKI Jakarta. Mungkin karena DKI Jakarta secara pendataan bagus, dan juga dari sisi pengaduan juga masyarakat lebih berani untuk melaporkan kasus," kata Siti Mazumah.

Di posisi kedua adalah Jawa Tengah dengan 456 kasus, kemudian Nusa Tenggara Timur dengan 291 kasus, Jawa Tengah dengan 270 kasus, dan D.I. Yogyakarta dengan 193 kasus.

Baca juga: Kemen PPPA: Kekerasan rumah tangga berdampak pada kekerasan berulang

Forum Pengada Layanan (FLP) merupakan jaringan lembaga layanan yang aktif menangani perempuan korban kekerasan. FLP beranggotakan organisasi-organisasi penyedia layanan berbasis masyarakat yang terdiri dari 74 anggota yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia.

Sementara berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di ranah rumah tangga.

"Laporan yang masuk ke Simfoni PPA, menunjukkan tempat kejadian kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di rumah tangga. Persentase-nya 73,1 persen," kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Eni Widiyanti.

Sementara pelaku kekerasan sebagian besar adalah suami dengan persentase 56,3 persen.

Baca juga: Perempuan yang pernah jadi korban KDRT cenderung ingin bunuh diri

Baca juga: Kekerasan terhadap perempuan terbanyak terjadi di rumah tangga

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023