Jakarta (ANTARA News) - Yang satu mendominasi sepakbola Eropa lima tahun terakhir, sedangkan yang satunya lagi tengah menapak ke puncak kejayaannya setelah dinyatakan juara Bundesliga kala pertandingan masih tersisa enam laga.

Kedua klub berasal dari dua negara yang garis nasibnya bertolakbelakang.

Jerman, yang menjadi asal Bayern Munich, adalah pusat kemakmuran Eropa. Sedangkan Spanyol, negeri asal Barcelona, tengah merintih akibat dihantam krisis utang yang awalnya bertiup dari Yunani.

Jerman adalah penentu resep-resep ekonomi kepada negeri-negeri sakit penderita krisis seperti Yunani dan Siprus, bahkan juga Spanyol.

Jerman "anteng" makmur, sementara Spanyol mengaduh disengat krisis yang membuat banyak orang menganggur. Mengutip BBC, tingkat pengangguran di Spanyol mencapai rekor 27,2 persen, atau enam juta orang penganggur.

Segala sektor kehidupan melesu. Pada 22 April, Reuters melaporkan, buruh migran ramai-ramai meninggalkan Spanyol karena lapangan kerja kian menyurut di negeri ini.

Krisis hebat ini juga menekan dunia sepakbola yang sudah menjadi industri. Banyak klub La Liga menghadapi kesulitan keuangan akibat dililit utang, termasuk klub-klub besar seperti Real Zaragoza, Racing Santander, Real Mallorca, Deportivo La Coruna, dan Real Betis.

Maret lalu, Uni Eropa menyebutkan klub-klub Spanyol dililit utang sampai 3,5 miliar euro (Rp44,8 triliun) sehingga beberapa klub terancam dilikuidasi.

Gambaran ini membuat bos Bayern Munich Uli Hoeness menyerang mismanajemen keuangan klub-klub Spanyol.

"Kami membayar pajak ratusan juta dolar euro untuk mengeluarkan Spanyol dari krisis dan mereka (para pemilik klub) membiarkan klub mereka dililit utang," kata Hoeness seperti dikutip The Guardian.

Ironisnya dua raksasa Spanyol, Barcelona dan Real Madrid, tak tertular krisis utang. Mereka tetap royal berbelanja pemain bernilai supermahal.

Keduanya juga bertahan menjadi lambang kebesaran Spanyol, sampai dua pekan kemudian ketika kedua klub Spanyol ini dipermalukan oleh dua klub --Borusssia Dortmund dan Bayern Munich-- yang negaranya tengah ditjaya menentukan Eropa.

Dari dua kekalahan itu yang paling menyakitkan adalah antiklimaksnya Barcelona, padahal sebelumnya begitu mendominasi La Liga dan jagat sepakbola. Tim ini pula yang menjadi salah satu tulang punggung Spanyol kala merebut Piala Eropa 2008 dan 2012, serta Piala Dunia 2010.

Jupp Heynckes

Adalah Jupp Heynckes yang mungkin bisa disebut ahli strategi ulung yang berada di balik dipermalukannya klub-klub Spanyol.

Begitu tahu Lionel Messi tak masuk line-up, dia memasang lima gelandang untuk mengganggu aliran bola Barca dari tengah lapangan.

Kerja ini menjadi lebih mudah karena para pemain tidak lagi direpotkan karena harus menjaga Messi. "Ada perbedaan antara Barca dengan dan tanpa Messi," kata Heynckes seperti dikutip AFP.

Alhasil, meski tetap dominan mengendalikan permainan, Barcelona tak bisa lebih jauh dari sekadar berupaya menciptakan gol. Manuver mereka mudah dipotong dan dibaca, termasuk saat mendekati area penalti Bayern. Tak ada Messi, tak ada kreativitas.

Suratkabar Spanyol El Mundo sampai mengklaim bahwa satu jam sebelum pertandingan mulai, nasib Barcelona sebenarnya sudah ditentukan oleh ketiadaan Messi dalam daftar pemain ikut bertanding (line-up).

Koran Spanyol lainnya, El Pais, menyebut Barcelona seperti diberkati mukjizat dari seorang bernama Messi. Barca tanpa Messi, ibarat bermain tanpa keajaiban. "Dampak ketidakhadiran Messi begitu luar biasa," tulis El Pais.

Dan Heynckes juga paham sekali bahwa Messi adalah jantung kreativitas Barca. Benar saja, sepanjang 90 menit bermain, para pemain Barca menyerang tanpa bisa mencetak gol. Mereka menerobos jantung pertahanan Bayern dengan pola itu-itu terus sehingga mudah dibaca lawan.

Lalu, malapetaka menimpa tiga menit awal babak kedua. Arjen Robben menciptakan gol penting saat Barcelona tahu pasti bahwa kebobolan satu gol pun akan memustahilkan upaya mereka lolos ke Wembley.

Gol dari pemain timnas Belanda itu membuat Barca panik luar biasa. Bek Gerard Pique, dalam laman uefa.com, mengakui gol Robben telah meruntuhkan moral Barcelona.

Pelatih Barca Tito Vilanova tak kalah paniknya. Hanya beberapa menit setelah gol Robben, dia menarik Xavi dan Iniesta setelah kreativitasnya tak muncul akibat dirusak para gelandang Munich.

Padahal, bersama Messi, kedua pemain itu disebut harian Jerman Suddeutsche Zeitung sebagai jantung permainan Barca.

"Ditariknya kedua pemain itu membuat tim menjadi terbuka dan menjadi sasaran gelombang serangan Bayern yang menciptakan dua gol lagi, satu dari gol bunuh diri Pique setelah umpan silang (Frank) Ribery dan ketiga dari (Thomas) Muller," tulis El Pais.

Akhir sebuah era

Presiden Barcelona Sandro Rossell mengakui Bayern adalah tim terkuat di Eropa saat ini, tetapi dia menolak mengatakan sepakbola Spanyol mundur. "Saya tak menganggap tim-tim Spanyol tampil buruk di kompetisi musim ini," sergahnya dalam uefa.com.

Tapi Sudeutsche Zeitung tidak sepakat dengan itu. Absennya Messi, lalu keluarnya Xavi dan Iniesta, disebut harian ini sebagai kehilangan besar Barca yang menjadi faktor suksesnya Munich, sekaligus menjadi isyarat berakhirnya era kebesaran FC Barcelona.

Media Spanyol sendiri berpandangan, Barcelona dan juga Real Madrid, memang lagi tampil tidak pada kelasnya, tapi itu tak menandakan era Spanyol atau era Barcelona berakhir.

Menurut El Mundo, final Liga Champions nanti sebenarnya telah dituliskan di Dortmund dan Munich satu pekan lalu kala kedua raksasa Spanyol itu kebobolan empat gol.

"Hantamannya begitu dahsyat, dari awal sampai akhir, baik di leg pertama maupun kedua, dengan atau tanpa Messi," tulis El Mundo.

Mungkin ini bukan akhir dari era Spanyol, tapi jelas menandakan bangkitnya sepakbola Jerman. Para pemain, pelatih, dan pengurus Barcelona, serta media Spanyol sendiri menganggap dua klub Jerman itu memang pantas ke final Liga Champions.

El Mundo bahkan menggarisbawahi, Borussia dan Bayern sudah ditakdirkan menjadi kampiun Liga Champions musim ini.

Tapi pujian terbesar tampaknya pantas dialamatkan kepada Bayern karena tak hanya tidak kebobolan pada dua laga melawan Barcelona, tapi juga karena menciptakan tujuh gol sensasional tanpa balas.

Bayern menang karena kekuatan, ketenangan dan kepercayaan diri. "Bayern tampil tiga kali pada empat final terakhir Liga Champions. Pencapaian yang luar biasa," tulis media Jerman, Zeith, dalam edisi online-nya.

Selama duabelas tahun, tak ada tim Bundesliga yang memenangi tropi internasional, sehingga ketika dua klub Liga Jerman itu sekaligus masuk final Liga Champions, maka pastilah itu hari bersejarah untuk sepakbola Jerman.

Tapi kemunculan Bayern dan Borussia di puncak elite sepakbola Eropa tidak tiba-tiba atau bukan karena nasib baik. Kedua tim muncul ke permukaan karena mempersembahkan sepakbola Jerman yang modern dan penuh bakat, tulis Zeith online.

Mereka telah mengukir sejarah dengan menciptakan final sesama Jerman pertama sepanjang sejarah Liga Champions, sekaligus melengkapi superioritas ekonomi Jerman dari Spanyol dan Eropa.

Oleh Jafar M Sidik
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013