Jepang diprediksi mengalami kekurangan lebih dari 11 juta pekerja pada tahun 2040.
Depok (ANTARA) - Universitas Indonesia (UI) mempersiapkan para pekerja migran untuk bekerja di Jepang, karena saat ini Jepang tengah menghadapi masalah berkurangnya angkatan kerja usia produktif.

Klaster Riset Tenaga Kerja, Mobilitas Penduduk dan Pemberdayaan Masyarakat, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) bersama Himpunan Mahasiswa Kajian Wilayah Jepang (HIMA KWJ) SKSG UI menyelenggarakan sosialisasi kepada tiga lembaga pelatihan kerja.

Ketua Pengabdian Masyarakat Kajian Wilayah Jepang UI Dr Kurniawaty Iskandar SSos MA, di Kampus UI Depok, Jawa Barat, Kamis, mengatakan sosialisasi sadar hak dan kewajiban bagi PMI ke Jepang dilaksanakan mahasiswa KWJ UI setiap tahun.

Hal itu, katanya pula, untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa program pascasarjana KWJ UI untuk mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan para calon PMI, sekaligus memberikan informasi penting kepada para calon PMI itu sendiri mengenai hal-hal yang terkait dengan persiapan mereka sebelum memasuki dunia kerja di Jepang.

Kegiatan sosialisasi ini diikuti oleh 36 peserta yang berasal dari tiga LPK yang berada di sekitar wilayah Depok, yaitu LPK Seiko Gema Nusantara, LPK Canggih Brastel Indonesia, dan LPK Koba Mirai Japan yang mengirimkan tenaga kerja dalam program Specified Skilled Worker (SSW) dan Technical Internship Training Program (TITP).

"Program ini adalah kebijakan imigrasi yang dibuat oleh Pemerintah Jepang berupa status visa atau status residensi bagi tenaga kerja asing di Jepang," katanya pula.

Adapun narasumber dalam sosialisasi adalah Sari Anggaini SS MSi, staf keimigrasian di Indonesia yang juga merupakan alumni KWJ UI, yang membahas mengenai aturan masuk ke Jepang, pengajuan visa dan izin tinggal di Jepang.

Materi kedua dibawakan oleh salah seorang mahasiswa KWJ semester tiga Sabrina Nur Raudha SS yang membahas mengenai sistem transportasi dan kehidupan sehari-hari di Jepang yang perlu diketahui oleh para calon pekerja.

Sedangkan Muhammad Reza Rustam PhD, seorang peneliti PMI dan alumni KWJ UI, membahas mengenai kasus-kasus yang terjadi pada PMI yang ada di Jepang.

Para perwakilan LPK mengikuti sosialisasi ini dengan antusias, karena mendapatkan pemahaman bagaimana mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan juga menginginkan sosialisasi ini berlanjut dengan tambahan beberapa penjelasan materi yang dianggap penting seperti aturan hukum bagi pekerja yang lebih detail, model kontrak kerja, aturan jika membawa keluarga, dan lain-lain.

Saat ini, Jepang tengah menghadapi masalah berkurangnya angkatan kerja usia produktif. Menurut lembaga pemikir independen asal Jepang, Recruit Works Institute, Jepang diprediksi mengalami kekurangan lebih dari 11 juta pekerja pada tahun 2040.

Populasi usia kerja diperkirakan akan turun drastis sebanyak 20 persen menjadi 59,8 juta pada 2040, dan pasokan pekerja akan menyusut sekitar 12 persen pada tahun 2040.

Pemerintah Jepang tengah berupaya menghentikan penurunan laju kelahiran di Jepang serta mengalokasikan sekitar 1 triliun yen (Rp104 triliun) untuk pelatihan pekerja dalam lima tahun mendatang sebagai solusi.

Permasalahan ini juga membuka peluang bagi tenaga asing untuk masuk dan bekerja di Jepang, sehingga menarik generasi muda Indonesia yang berminat bekerja di Jepang dan mengikuti berbagai pelatihan pada LPK yang tersedia di berbagai wilayah.

Tetapi, masih terdapat beberapa hambatan yang ditemui para Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Jepang, di antaranya ketidaksesuaian kontrak kerja, maraknya kekerasan yang terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa Jepang, kondisi kerja yang tidak sesuai harapan, hingga penyalur tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab sehingga dapat berdampak kepada kemungkinan para pekerja menjadi pekerja ilegal.
Baca juga: BP3MI Sumut sebut 215 PMI masuk proses verifikasi G to G ke Jepang
Baca juga: Pemprov NTB jalin kerja sama pengiriman PMI dengan Jepang

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2023