Jakarta (ANTARA) - Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengusulkan kepada Presiden RI Joko Widodo ada grasi massal terhadap narapidana pengguna narkotika yang masa hukumannya tergolong ringan.

Anggota Kelompok Kerja 1 Tim Percepatan Reformasi Hukum Rifqi Sjarief Assegaf menilai rekomendasi itu diberikan merespon persoalan kelebihan kapasitas penghuni (overcrowded) rumah tahanan dan lembaga permasyarakatan yang didominasi narapidana penyalahgunaan narkotika.

"Hampir 100 persen lapas (lembaga permasyarakatan) secara total overcrowded, dan itu kami mendorong adanya grasi massal terhadap pengguna narkoba atau penyalahguna narkoba yang selama ini dikriminalisasi terlalu berlebihan. Harapannya, ada proses untuk meng-asses (menilai, red.) mana yang betul hanya pelaku atau penyalahguna, pelaku tindak pidana ringan sehingga bisa diberikan grasi massal sehingga masalah overcrowded (lapas) bisa (tertangani) lebih baik,” kata Rifqi saat jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam RI di Jakarta, Jumat.

Dia melanjutkan tentu ada syarat-syarat dan kriteria yang perlu dimiliki para narapidana narkotika untuk mendapatkan grasi itu, di antaranya mereka bukan residivis dan bukan pelaku tindak pidana lainnya.

Tim Percepatan Reformasi Hukum dalam dokumen rekomendasi-nya kepada Presiden Jokowi mengusulkan adanya grasi massal terhadap narapidana/warga binaan permasyarakatan (WBP) penyalahguna narkoba yang memenuhi syarat serta mereka yang tergolong pelaku tindak pidana ringan.

Baca juga: ICJR dorong amnesti dan grasi massal untuk pengguna narkotika

Ukuran keberhasilan dari rekomendasi itu, antara lain tersedianya data WBP yang memenuhi syarat, yaitu mereka yang dipenjara hanya karena melanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 atau pasal lain yang menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 seharusnya dianggap sebagai penyalahguna; WBP pelaku tindak pidana lain yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun dan dijatuhi penjara kurang dari 2,5 tahun (selain yang terkait korupsi atau kekerasan); dan mereka bukan residivis.

Terkait data-data itu, Tim Percepatan Reformasi Hukum menargetkan diharapkan dapat dihimpun selama 3 bulan mulai Desember 2023–Maret 2024.

Ukuran keberhasilan lainnya, Presiden memberikan grasi massal secara bertahap kepada WBP penyalahguna narkoba dan WBP pelaku tindak pidana ringan yang memenuhi syarat. Harapannya, kebijakan itu dapat dilaksanakan pada Maret, Juni, dan September 2024.

Beberapa kementerian/lembaga yang menjadi penanggung jawab atas tindak lanjut rekomendasi itu, di antaranya Kemenko Polhukam sebagai koordinator (leading sector), kemudian Mahkamah Agung, Sekretariat Negara, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kejaksaan Agung, Polri, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).

Dalam dokumen yang diserahkan kepada Presiden RI, Tim Percepatan Reformasi Hukum menyampaikan kelebihan kapasitas di lembaga permasyarakatan mencapai 77 persen. Jumlah warga binaan mencapai lebih dari 228.000, sementara kapasitasnya hanya sekitar 128.000.

"Di beberapa tempat, overcrowding mencapai 300 persen. Populasi terbesar adalah WBP penyalahguna narkoba, yang diestimasi mencapai 60 persen. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan masyarakat melakukan pembinaan dan perlakuan yang layak bagi WBP, tidak menjawab persoalan mendasar yang ada (ketergantungan narkoba), mendorong praktik KKN di rutan/lapas serta membebani keuangan negara yang sangat besar. Biaya untuk mencukupi kebutuhan makan WBP narkoba saja lebih dari Rp1 triliun per tahun," demikian isi pertimbangan atas rekomendasi dari Tim Percepatan Reformasi Hukum kepada Presiden RI.

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023