Jakarta (ANTARA) -
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan terdapat tiga tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mempercepat transformasi pada sektor ketenagalistrikan menuju energi baru terbarukan.
 
 
 
Tantangan tersebut, yakni kelebihan kapasitas listrik, kemampuan PLN dalam proses pengadaan energi terbarukan, hingga pendanaan.
 
 
 
"Kalau dari hitung-hitungan kami, harusnya energi terbarukan itu 3-4 GW per tahun kapasitas tambahannya, bahkan lebih tinggi lagi kalau mau. Tapi kondisi over capacity ini punya implikasi, kalau pembangkitnya ditambah tapi demand-nya tidak naik dengan cepat, maka akan memperparah persoalan over capacity," kata Fabby dalam konferensi pers "Enabling Rapid Power Sector Transformation" Indonesia Energy Transition Dialogue 2023 di Jakarta pada Senin.
 
 
 
Ia melanjutkan, penambahan energi terbarukan juga sangat bergantung pada kemampuan PLN dalam proses pengadaan.
 
 
 
Fabby menilai bahwa sejauh ini, proses pengadaan masih harus lebih ditingkatkan, termasuk dalam mengantisipasi faktor-faktor penghambat yang di luar dugaan.
 
 
 
"Sebagai contoh, PLTS Bali. Kalau saya tidak salah, targetnya 2024 harus sudah masuk, tapi ada kendala urusan pembebasan lahan, financing, kemudian harga panel surya yang sempat mahal, itu kan di luar dugaan," ujar Fabby.
 
 
 
Mengenai pendanaan, Faby mengacu pada tarif rata-rata produksi listrik yang 70 persennya dihasilkan dari batubara. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), biaya produksi listrik berkisar 7-8 sen dolar AS per kWh.
 
 
 
Untuk itu, menurut Fabby, jika PLN ingin membeli energi terbarukan maka harus dipastikan bahwa tarifnya cukup kompetitif dengan batubara.
 
 
 
"Karena kalau tidak, tentu akan menaikkan biaya produksi listrik. Kalau naik biaya produksi listrik, tentu subsidi bertambah, kompensasi bertambah, lalu margin PLN turun. Jadi agak kompleks," ujar Fabby.
 
 
 
Untuk mendapatkan harga energi terbarukan yang kompetitif dengan kondisi saat ini, Fabby mengatakan perlu pendanaan yang berbunga rendah.
 
 
 
"Low cost financing itu penting, untuk bisa mendapatkan misalnya harga (listrik dari) PLTS di bawah 5,5 sen dolar AS (per kWh), harga panas bumi yang tidak lebih dari 8 sen dolar AS, lalu harga hydro kira-kira 7 sen dolar AS. Kan selain proyeknya harus bagus, pembiayaan juga harus murah," kata Fabby.

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Sella Panduarsa Gareta
Copyright © ANTARA 2023